Taraka Napak Archapadha

actually i don't know why i wrote "Taraka Napak Archapadha" as the title of my blog. Taraka is my son's name, it comes from "Java Kawi" language, it means star. Star is always be there in the sky that's why i put this title on the top of my blog. Writing is just like hanging my dream above the sky, as the way we try to reach the star. If you believe the power of your dream, dream will come true.. every letter that i write is every second i make a dream... and i believe, someday i will :)

Sunday, July 8, 2012

Rumput Tetangga Tak Selalu Lebih Hijau

sebuah cerita rekaan, semoga bermanfaat :)

Namaku Arini, orang-orang biasa memanggilku Rini. Usiaku 30 tahun dan aku telah berumahtangga selama 7 tahun. Suamiku berumur 2 tahun lebih tua dariku. Dia bekerja sebagai buruh pabrik, penghasilannya memang tak besar tapi cukup menghidupiku dan anakku yg masih batita. Ak perlu menunggu waktu lama untuk menimang momongan. 7 tahun menikah, aku baru mendapatkan buah hati menginjak awal tahun ke-4 pernikahan kami. Meskipun keadaan ekonomi kami tak sekaya tetangga di sekitar, tapi aku cukup brsyukur dengan keadaan ini. Dulu aku sempat bekerja di pabrik sebagai buruh juga, sama seperti suami, dan memang di pabrik garmen itulah awal kami bertemu. Namun sekarang auk memilih keluar dari pekerjaanku karena ingin fokus mengurus anak. Di rumah kontrakan kami yang kecil, aku membuka usaha warung kecil-kecilan untuk sekedar memutar tabungan dari gaji suami agar tak cepat habis.

Kadang aku mengamati kehidupan orang-orang di sekitarku. Kebanyakan mereka pendatang dari luar Jakarta yang mencoba memperbaiki nasib di ibukota. Aku dan suami juga bukan penduduk asli Jakarta. Ak lahir dan besar di kota kecil bernama Kebumen, jawa tengah. Lulus SMA aku mencoba mengadu nasib di Jakarta. Sebelum bekerja di pabrik garmen, aku sempat bekerja di toko sepatu sebagai penjaga toko. Suamiku berasal dr Purworejo. Riwayat kerjanya cukup panjang di kota yang tak pernah tidur ini. Dia pernah bekerja di bengkel, menjadi sales obat-obatan, pelayan di rumah makan padang, sampai akhirnya dia bekerja di pabrik garmen.

Tetangga yang tinggal di kontrakan sebelah adalah sepasang suami istri yang belum lama pindah ke sini. Mereka baru 2 tahun menikah dan telah mempunyai momongan anak perempuan yang menggemaskan berumur satu tahun. Usia sepasang suami istri itu msh muda, sekitar 23-24 tahun. Pasangan ini kerap kali membuat para tetangga iri karena kemesraan dan keharmonisan rumahtangga mereka yang sepertinya jauh dari huru hara kekisruhan.

Rumah kontrakan di depan rumah kontrakan kami dihuni sepasang suami istri yang lebih senior dariku. Usia si istri sekitar 35 tahun, sedangkan suaminya berumur 40 tahunan. Mereka telah berumahtangga selama 10 tahun tapi belum juga dikaruniani momongan. Diantara para penghuni kontrakan, bisa dibilang mereka pasangan yang paling mapan. Si suami seorang pegawai bank swasta, sedangkan istrinya membuka usaha butik di salah satu mall. Mobil honda jazz mereka selalu terlihat kinclong ketika bertengger di halaman parkir kontrakan. Sebenarnya mereka mampu untuk membangun atau membeli sebuah rumah, taip mereka bilang tak mau buru-buru membeli rumah. Mereka baru akan membeli rumah jika Tuhan telah menganugerahi momongan untuk mereka.

Di sebelah kontrakan pasangan suami istri itu tinggallah sepasang suami istri yang usianya masih sepantaran denganku. Keadaan ekonomi mereka cukup mapan karean keduanya sama-sama bekerja sebagai PNS. Pernikahan mereka dikaruniani dua anak kembar yang msh balita. Diantara kami semua, mereka adalah pasangan yang seringkali bertengkar. Mungkin kalian bertanya, dari mana aku tahu kalo mereka sering bertengkar? Tentu saja dengan mudah aku maupun tetangga yang lain mengetahui perihal pertengkaran mereka, karena tiap kali mereka bertengkar, mereka seringkali berbicara keras-keras, bahkan suka membanting barang juga. Kalau mereka sedang bertengkar, si mbak pengasuh yang brtugas mengasuh si kembar selalu membawa anak-anak ke rumahku agar mereka tak kena imbas kemarahan orangtuanya. Kasihan juga si kembar, mereka kadang menangis keras melihat ayah ibunya saling mengumpat penuh emosi.

Ada seorang penghuni lagi yang tinggal di sebelah kanan rumah kontrakanku. Namanya mba Yunita. Dia masih lajang kendati umurnya sudah 32 tahun. Dia perempuan yang mandiri dengan karir cemerlang sebagai marketting manager di perusahan makanan ringan. Wajahnya yang cantik dan keliatan seperti 20an tahun, kulit tubuhnya putih mulus dengan postur tubuh tinggi semampai kerap kali membuat kami yang merasa tak cantik dengan tubuh ditumpuki lemak yang bergelambir dimana-mana, merasa iri dan kagum. Dengan kecantikan wajah dan hati yang dia miliki rasanya tak ada satupun lelaki yang sanggup menolaknya. Tapi entahlah, sampai sekarang dia masih betah melajang. Mungkin karena dia etrlalu selektif dalam memilih calon suami.


Sore itu di hari Minggu kami semua brkumpul mengobrol ngalor ngidul di depan teras rmh kontrakanku. Biasalah, ibu2 kalau belanja di warung suka mampir sebentar untuk ngerumpi.

Obrolan kami diawali ketika mbak Leni si pengusaha butik mengamati Rafi, anak semata wayangku yg tengah asik bermain brsama si kembar.
''senengnya liatin anak2 bermain. Kapan ya aku punya momongan.. Aku iri lho ama jeng Rini, Mita, dan jeng Dewi yang udah pada punya momongan..', tukas mbak Leni sambil terus mengamati Rafi dan si kembar.
Mita yang paling muda diantara kita tersenyum sambil menggendong putrinya yang tengah tidur terlelap, ''walau mbak Leni belum dikaruniai momongan tapi mbak Leni harus tetap brsyukur. Semua soal waktu. Mungkin emang belum waktunya mbak.. Sabar aja mbak, ntar bakal dikasi juga kalau udah waktunya..''

''iya bener mbak. Dulu aja saya nunggu ampe 4 tahun baru dikasih momongan..'', aku ikut mencoba membesarkan hati mbak Leni yang tampak murung.

Tiba-tiba seorang pria datang menghampiri kami. Dia mendekat ke arah Mita.
''Nisa ketiduran ya mah? Biar ayah yang gendong ya mah, mau dipindahin ke kasur aja. Oya tadi ayah udah masak nasi, mamah yang masak sayurnya ya..''
Mita menyerahkan putrinya pada suaminya sambil berkata 'makasih ayah, mamah ngobrol bentar dulu ya ama ibu2, hehe..''
Suami Mita mengerlingkan senyum lalu kembali ke kontrakannya.

Kami semua terpana melihat pemandangan itu. Sungguh beruntung Mita memiliki suami yang pengertian dan suka membantu pekerjaan istrinya.
''beruntung sekali kamu mit, punya suami yang pengertian dan sayang keluarga.. Suamiku mah boro2.. Tiap hari sukanya marah-marah terus. Dia pikir dia doank yang capek kerja. Aku juga capek..'', Dewi mengeluh dengan mimik muka yang cemberut.


''pertengkaran itu gak akan terjadi kalo kita berkomunikasi baik-baik dengan suami. Coba kamu bicarain lagi ama suamimu jeng. Bicara dari hati ke hati. Kasian lho si kembar kalau ayah ibunya bertengkar terus..'', mbak Leni yang paling senior diantara kami mencoba memberi nasihat bijak pada Dewi yang emang dikenal temperamental.


''coba kamu belajar dair Mita dan suaminya tuh.. Mereka lebih muda tapi tahu caranya unutk tetap menjaga keharmonisan rumahtangga'' ujar mbak Leni lagi.


Mita tersenyum kecil sambil merapikan jilbabnya, ''mbak Leni terlalu berlebihan, justru saya yang harus banyak belajar dari mbak-mbak semua yang lebih senior''


''aku lebih senior dari kamu, tapi nyatanya auk gak lebih baik dari kamu Mit. Apa sie resepnya Mit biar tetap harmonis? Kayaknya kalian gak pernah bertengkar..'', Ada gurat nada penasaran memancar dari wajah Dewi.


''kami gak punya resep apapun mbak. Kami hanya slalu berusaha menghormati satu sama lain. Apalagi, orangtua suami sampai sekarang msh belum bisa menerima saya sebagai menantunya. Mereka juga belum pernah sekalipun menengok cucunya. Itulah yang membuat kami semakin menghargai arti sebuah komitmen dalam rumah tangga. Perjuangan kami untuk bisa menikah memang cukup berat..''


Aku tercengang mendengar cerita Mita barusan. Rupanya di balik keharmonisan mereka, ada sebuah masalah keluarga yang sangat pelik.


''kenapa orangtua suami kamu gak bisa menerima kamu Mit? Kamu orang yang baek, kok bisa ga diterima di keluarga suami.'', akhirnya mbak Yunita yang sedari tadi diam membisu mengeluarkan suaranya yang serak-serak basah.


Mita diam tertunduk,''karena saya anak dari keluarga yang gak punya mbak. Gak sepantaran ama status sosial keluarga suami''.


Gantian mbak Yunita yang menunduk,''cerita Mita ngingetin saya ama masa lalu saya..''


''emang masa lalu mbak Yunita seperti apa mbak?'' tanya Dewi yang sepertinya penasaran sekali. Aku akui, aku juga penasaran ingin tahu.


''dulu saya pernah menjalin hubungan dengan seorang pria selama kurang lebih 5 tahun. Kami berencana untuk menikah. Tapi sayang keluarganya tak setuju dengan rencana kami. Orangtuanya udah nyiapin jodoh buat anaknya. Gadis yang lebih cantik, lebih kaya, lebih pintar, pokoknya lebih segala-segalanya dari saya.. Mantan saya itu lebih memilih menuruti keinginan orangtuanya. Padahal saya udah banyak berharap dari hubungan kami. Karena itulah sampai sekarang saya masih trauma buat membuka hati untuk menerima cinta dr cowok lain..''


Trenyuh juga mendengar kisah mbak Yunita ini..
''yang tabah aja mbak, berarti dia bukan jodoh terbaik mbak. Kalau boleh ngashi saran, mbak gak perlu merasa trauma. Yang berlalu biarlah berlalu. Masih banyak laki-laki yang bertanggungjawab di luar sana..'', ujarku tuk menyemangati mbak Yunita agar tak terbelenggu masa lalunya.


''bener tuh kata jeng Rini. Dik Yunita harus terus melangkah ke depan. Masa lalu cukup jadi pelajaran. Yang terpenting sekarang, bagaimana menata hidup dik Yunita kembali tanpa terus dihantui baying-bayang masa lalu.'', mbak Leni ikut menambahkan.


''saya setuju ama Mbak Leni. Apalagi Mbak Yunita kan cantik, mapan, baik lagi.. Pasti banyak laki-laki baik yang naksir ama mbak..'', ucap Mita penuh semangat. Lonjakan darah mudanya tak bisa disembunyikan.
Yunita pun tersenyum dan mengucapkan terimakasih atas dukungan dan semangat yang kami berikan.




Malamnya aku tak bisa tidur. Kuamati wajah anakku dan suamiku yang tidur saling berpelukan. Mereka terpejam begitu lelapnya. Terekam kembali percakapanku dengan tetangga2ku tadi sore. Aku pun tersenyum.. Meski suamiku tak seromantis suami Mita, tapi aku memiliki suami setia yang tak pernah mengeluh sekalipun ia capek bekerja seharian. Dia sebenarnya sangat menyayangiku, dia hanya sedikit kaku tuk mengekspresikan rasa cintanya. Kami juga tidak sekaya mbak Leni dan suaminya, tapi aku tak perlu menunggu waktu sampai 10 tahun tuk punya momongan. Rafi, adalah kado terindah dalam pernikahan kami selama 7 tahun ini. Kami juga tidak semapan Dewi dan suaminya, tapi kami tak pernah bertengkar hebat sampai mengganggu tetangga sekitar. Anakku tak perlu menangis ketakutan melihat ayahnya membanting barang. Dan meski aku tak secantik mbak Yunita, juga tak memiliki karir secemerlang dirinya, seenggaknya aku sukses menjadi wanita cantik di hadapan suami dan anakku. Aku pun terus berusaha menjadi wanita karir yang sukses dalam rumahtangga.. Mengurus anak dan suami adalah kebahagiaan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Maafkan aku jika aku pernah mengeluh ya Allah.. Aku bersyukur dengan keadaanku sekarang. Rumput tetangga memang tak selalu lebih hijau.. Rumput sendiri harus dirawat dan dipelihara agar selalu hijau, agar kita tak merasa iri dengan rumput tetangga.. Jika kita pandai brsyukur, rumput di halaman rumah akan selalu terlihat hijau..!




Cerita di atas hanya rekaan semata. Nama tokoh, tempat, dan karakter hanya fiktif belaka. Tapi semoga cerita ini brmanfaat tuk mengingatkan kita untuk selalu pandai brsyukur

No comments:

Post a Comment