Dalam kehidupan ini selalu ada dua
hal yg bertentangan. Kaya-miskin, tua-muda, kecil-besar, kelahiran-kematian.
Berbicara mengenai kelahiran, tgl 21 kemarin aku sudah merasakan sendiri
nikmatnya melahirkan itu. Sampai kapanpun aku nggak akan bisa melupakan moment
bersejarah itu. Karena itu sepenggal coretan ini akan ku jadikan pengingat
kenangan akan suatu masa ketika aku melahirkan anak pertamaku. Bunda dan ayah
yuk kita bernostalgia lagi kembali ke masa kelahiran anak pertama. Buat yg blm
jadi ayah dan bunda pun nggak dilarang membaca sharingku, hehe..
20 feb 2011
Sebelumnya kita flash back dulu ya ke masa satu hari sebelum melahirkan. Pagi itu seperti biasa aku dan suami jalan2 pagi mengelilingi kompleks. Sepanjang jalan aku dan suami sesekali memandangi perutku yg turun ke bawah beberapa senti. Apakah sebentar lagi aku akan melahirkan? Bu bidan memprediksi kelahiran buah hatiku jatuh pd tgl 23 feb bsk, waktunya semakin dekat. Sepulang jalan2, aku dan suami sempat mencuci popok dan kain terpal bersama. Siangnya pukul 14.00 wib, aku sempat meminta suami untuk mengantarku ke rumah saudara yg baru saja membuka usaha depot air, warnet, dan jual gas. Rasanya pengen refreshing mencari artikel tentang persalinan.
Menjelang Maghrib kurasakan pegal di sekitar perut, terutama bagian bawah perut. Aku anggap ini pegal biasa seperti yg sudah2. Bada' Isya rasa pegal itu bercampur mulas dan melilit seperti orang sakit perut. Aku pun bertanya-tanya dlm hati, mulas yg aku rasakan apakah tanda2 aku akan segera melahirkan atau hanya mulas sakit perut. Semalaman aku nggak bisa tidur. Suami pun ikut begadang menemaniku. Sesekali suami mengusap perutku dengan minyak kayu putih. Suami pun heran, biasanya kalau pegal2 hanya sebentar saja, tapi ini semalaman. Aku ragu kalau mulas yg aku rasakan adalah tanda2 akan melahirkan, karena aku belum mengeluarkan lendir bercampur darah.
21 feb 2011
Pukul 02.00 dini hari aku melangkah menuju kamar ibuku. Kebetulan ayahku mendapat jatah ronda malam itu, karena itu ibu tidur sendiri. Aku ceritakan keluhanku pada ibu. Ibu sempat menyuruhku untuk tidur bersamanya tapi aku sudah tak bisa memejamkan mata. Akhirnya ibu menyuruh suami dan kakak untuk menyusul mbah dukun yg rumahnya tak jauh dr rumahku untuk memeriksa apakah tanda2 melahirkan itu sudah ada atau belum. Jangan berpikir negatif dulu tentang mbah dukun ya teman2, mbah dukun itu maksudnya dukun bayi, orang yg bekerja mengurus bayi yg baru lahir, misal mengurut dan memandikan, mengurut ibu setelah melahirkan, dan membantu bidan ketika ada pasien yg melahirkan. Karena itu tak semua orang bisa bekerja sebagai dukun bayi, dia harus lulus test dulu lho kayak ujian PNS aja ya, keren kan? Wkwkwk.. Lebih baek aku sebut simbah aja kali ya, jangan ada embel2 dukun, biar nggak terlalu seram bacanya.
Kata simbah, tanda2 melahirkan itu memang sudah ada, karena itu lebih baik aku segera diantar ke tempat bidan. Suami dan ibu sibuk menyiapkan keperluan yg harus dibawa, seperti baju ganti, pakaian dalam, baju dan popok bayi, perlengkapan mandi,kain. Aku mempersiapkan diri. Cuci muka, gosok gigi, ganti baju dan makan juga untuk stok energi. Rasa mulas masih bisa ku tahan. Jam 3 pagi aku, suami, ayah, ibu, simbah dan kakak meluncur menuju ke tempat bidan. Kebetulan rumah bu bidan tak jauh, hanya butuh beberapa menit untuk sampai ke sana.
Setiba di sana, bu bidan memeriksaku, ternyata sudah pembukaan 7. Aku pun berbaring sambil dipijit2 simbah dan seorang mahasiswi akbid yg sedang PKL membantu bidan. Suami dan ibu terus mendampingiku. Ayah menunggu di luar.
Berbaring terus membuatku tak nyaman dan rasanya makin melilit saja perutku. Akhirnya aku memilih jalan mondar mandir dan kembali duduk kala mulas datang menyerang.
Lalu aku merasakan ingin sekali buang air kecil. Setelah masuk ke kamar mandi, belum sempat pipis eh aku udah mengompol duluan. Tiba2 segelontor air mengucur begitu saja. Ini kali yg namanya ketuban. Aku segera memberitahu bidan. Akhirnya aku berbaring kembali di kamar bersalin dengan didampingi ibu, suami, dan simbah. Ayahku menunggu di luar. Ku rasakan mulas itu semakin menggila dan semakin cepat frekuensinya. Suamiku berkali2 mencium kening dan menggenggam tanganku sembari menguatkanku. Ibuku juga tak henti2nya mengusap keringat yg membanjiri wajahku. Rasanya tak karuan sekali. Aku hanya bisa mengucap istighfar berulang kali, berdoa, mengucap shalawat, ayat2 Al-Quran yg aku hafal, pokoknya aku berusaha untuk merilexkan pikiran dan memohon doa pada Allah, karena hanya Dia yg berkuasa atas segala sesuatu. Jangan fokus ke rasa sakit. Subhanallah ternyata beginilah rasanya hendak bersalin. Aku pun sesekali memandangi wajah ibuku dan menciumnya. Ibu juga menciumiku dan terus mengingatkanku untuk berdzikir. Suamiku juga tak berhenti memberi dukungan. Ketika adzan subuh berkumandang, ibu dan suami bergantian sholat subuh, sementara aku menikmati mulas yg semakin teratur. Sesekali bidan menyuruhku untuk minum teh manis sebagai penyokong tenaga.
Pukul setengah 6 pagi, rasa mulas pun berakhir dan tiba saatnya bagiku memasuki fase 'mengejan' karena pembukaan telah lengkap. Tiap kali ada dorongan mengejan dari dalam, aku pun mengejan. Bu bidan dan ibuku memberi tahu cara mengejan yg benar, yaitu dengan mengatupkan gigi atas dan gigi bawah sambil menundukkan kepala, jangan mendongakkan kepala. Jika kita nyaman dengan posisi miring, tak masalah kita miringkan badan.
20 feb 2011
Sebelumnya kita flash back dulu ya ke masa satu hari sebelum melahirkan. Pagi itu seperti biasa aku dan suami jalan2 pagi mengelilingi kompleks. Sepanjang jalan aku dan suami sesekali memandangi perutku yg turun ke bawah beberapa senti. Apakah sebentar lagi aku akan melahirkan? Bu bidan memprediksi kelahiran buah hatiku jatuh pd tgl 23 feb bsk, waktunya semakin dekat. Sepulang jalan2, aku dan suami sempat mencuci popok dan kain terpal bersama. Siangnya pukul 14.00 wib, aku sempat meminta suami untuk mengantarku ke rumah saudara yg baru saja membuka usaha depot air, warnet, dan jual gas. Rasanya pengen refreshing mencari artikel tentang persalinan.
Menjelang Maghrib kurasakan pegal di sekitar perut, terutama bagian bawah perut. Aku anggap ini pegal biasa seperti yg sudah2. Bada' Isya rasa pegal itu bercampur mulas dan melilit seperti orang sakit perut. Aku pun bertanya-tanya dlm hati, mulas yg aku rasakan apakah tanda2 aku akan segera melahirkan atau hanya mulas sakit perut. Semalaman aku nggak bisa tidur. Suami pun ikut begadang menemaniku. Sesekali suami mengusap perutku dengan minyak kayu putih. Suami pun heran, biasanya kalau pegal2 hanya sebentar saja, tapi ini semalaman. Aku ragu kalau mulas yg aku rasakan adalah tanda2 akan melahirkan, karena aku belum mengeluarkan lendir bercampur darah.
21 feb 2011
Pukul 02.00 dini hari aku melangkah menuju kamar ibuku. Kebetulan ayahku mendapat jatah ronda malam itu, karena itu ibu tidur sendiri. Aku ceritakan keluhanku pada ibu. Ibu sempat menyuruhku untuk tidur bersamanya tapi aku sudah tak bisa memejamkan mata. Akhirnya ibu menyuruh suami dan kakak untuk menyusul mbah dukun yg rumahnya tak jauh dr rumahku untuk memeriksa apakah tanda2 melahirkan itu sudah ada atau belum. Jangan berpikir negatif dulu tentang mbah dukun ya teman2, mbah dukun itu maksudnya dukun bayi, orang yg bekerja mengurus bayi yg baru lahir, misal mengurut dan memandikan, mengurut ibu setelah melahirkan, dan membantu bidan ketika ada pasien yg melahirkan. Karena itu tak semua orang bisa bekerja sebagai dukun bayi, dia harus lulus test dulu lho kayak ujian PNS aja ya, keren kan? Wkwkwk.. Lebih baek aku sebut simbah aja kali ya, jangan ada embel2 dukun, biar nggak terlalu seram bacanya.
Kata simbah, tanda2 melahirkan itu memang sudah ada, karena itu lebih baik aku segera diantar ke tempat bidan. Suami dan ibu sibuk menyiapkan keperluan yg harus dibawa, seperti baju ganti, pakaian dalam, baju dan popok bayi, perlengkapan mandi,kain. Aku mempersiapkan diri. Cuci muka, gosok gigi, ganti baju dan makan juga untuk stok energi. Rasa mulas masih bisa ku tahan. Jam 3 pagi aku, suami, ayah, ibu, simbah dan kakak meluncur menuju ke tempat bidan. Kebetulan rumah bu bidan tak jauh, hanya butuh beberapa menit untuk sampai ke sana.
Setiba di sana, bu bidan memeriksaku, ternyata sudah pembukaan 7. Aku pun berbaring sambil dipijit2 simbah dan seorang mahasiswi akbid yg sedang PKL membantu bidan. Suami dan ibu terus mendampingiku. Ayah menunggu di luar.
Berbaring terus membuatku tak nyaman dan rasanya makin melilit saja perutku. Akhirnya aku memilih jalan mondar mandir dan kembali duduk kala mulas datang menyerang.
Lalu aku merasakan ingin sekali buang air kecil. Setelah masuk ke kamar mandi, belum sempat pipis eh aku udah mengompol duluan. Tiba2 segelontor air mengucur begitu saja. Ini kali yg namanya ketuban. Aku segera memberitahu bidan. Akhirnya aku berbaring kembali di kamar bersalin dengan didampingi ibu, suami, dan simbah. Ayahku menunggu di luar. Ku rasakan mulas itu semakin menggila dan semakin cepat frekuensinya. Suamiku berkali2 mencium kening dan menggenggam tanganku sembari menguatkanku. Ibuku juga tak henti2nya mengusap keringat yg membanjiri wajahku. Rasanya tak karuan sekali. Aku hanya bisa mengucap istighfar berulang kali, berdoa, mengucap shalawat, ayat2 Al-Quran yg aku hafal, pokoknya aku berusaha untuk merilexkan pikiran dan memohon doa pada Allah, karena hanya Dia yg berkuasa atas segala sesuatu. Jangan fokus ke rasa sakit. Subhanallah ternyata beginilah rasanya hendak bersalin. Aku pun sesekali memandangi wajah ibuku dan menciumnya. Ibu juga menciumiku dan terus mengingatkanku untuk berdzikir. Suamiku juga tak berhenti memberi dukungan. Ketika adzan subuh berkumandang, ibu dan suami bergantian sholat subuh, sementara aku menikmati mulas yg semakin teratur. Sesekali bidan menyuruhku untuk minum teh manis sebagai penyokong tenaga.
Pukul setengah 6 pagi, rasa mulas pun berakhir dan tiba saatnya bagiku memasuki fase 'mengejan' karena pembukaan telah lengkap. Tiap kali ada dorongan mengejan dari dalam, aku pun mengejan. Bu bidan dan ibuku memberi tahu cara mengejan yg benar, yaitu dengan mengatupkan gigi atas dan gigi bawah sambil menundukkan kepala, jangan mendongakkan kepala. Jika kita nyaman dengan posisi miring, tak masalah kita miringkan badan.
Subhanallah, benar2 membutuhkan perjuangan keras dan ekstra
kesabaran. Tahap demi tahap aku mengejan, lalu rehat saat napasku habis, tak
lupa rilexkan pikiran dengan mengambil napas lalu menghembuskannya berulang
kali. Ketika aku mengejan, seolah semua yg ada di ruangan ikut mengejan. Bahkan
kata ayahku, beliau juga ikut mengejan dan merasa cemas tak karuan. Aku mencoba
menguasai pikiranku dengan sugesti2 positif. Jika orang lain bisa berjuang
melahirkan, kenapa aku tidak? Aku pasti bisa seperti mereka. Aku meyakini satu
hal, segala sesuatu pasti ada akhirnya. Begitu juga dengan perjuangan
mempertaruhkan nyawa ini. Rasa sakit pasti akan berakhir Dan akan berganti
dengan kebahagiaan setelah bayi lahir. Aku harus berjuang bagaimanapun caranya.
Bahkan aku sempat berkata dalam hati, ya Allah jika kelahiran anakku harus
ditebus nyawa aku ikhlas. Waktu itu aku sedang berada di ujung rasa sakit yg
semakin menjadi. Tapi sekali lagi, aku terus menyemangati diri sendiri untuk
terus maju pantang mundur, aku harus bisa melewati semua ini. Suami membantuku
meminum teh manis dengan sedotan berkali2, bahkan dia juga menyuapiku nasi
untuk memasok tenaga, walau tak ada hasrat untuk makan, aku tetap menuruti
nasehat bu bidan yg menyuruhku mau melahap makanan walau cuma beberapa sendok.
Ajakan mengejan dr dalam semakin gencar mendorongku untuk mengejan sekuat yg aku bisa, sampai napas ini habis, ibarat penyanyi yg berlatih vokal untuk mencapai nada tertinggi. Bu bidan menyuruhku untuk mengambil napas lalu menghembuskannya ketika aku sudah berada di ujung kelelahan. Tiap selesai mengejan, bu bidan selalu berkomentar ''pintar.. Lagi.. Ayo..'', seperti guru TK yg memuji muridnya karena berhasil menyanyikan sebuah lagu. Aku akui, cara yg ditempuh bu bidan cukup efektif mengalirkan energi2 positif dalam otakku.
Ku lihat sekeliling ruangan dan kuamati gerakan jarum jam dinding dengan napas terengah-engah, peluh menggenang, dan aku bertanya2 ''kapankah perjuangan ini akan berakhir?'' Aku tahu benar waktu terus berputar dan moment kelahiran bintang kecilku pasti akan terjadi juga. Aku jadi lebih bersemangat. Ritme mengejanku pun semakin banyak frekuensinya. Suami dan ibu terus menerus memberi semangat.
''ayo mba hes, kepalanya udah keliatan..'', bu bidan mencoba memotivasiku. Aku berusaha sekuat tenaga mengejan dengan kekuatan maksimal yg aku punya. Aku sempat melihat bu bidan dan asistennya mengenakan celemek berbahan plastik dan memakai sarung tangan. Posisiku masih terlentang dan secara refleks kakiku mengangkat tinggi menyandar di tembok. Aku terus berusaha mengejan.
''iya iya pintar.. Ayo neng sebentar lagi dedenya keluar. Ayo de keluar..'', ujar bu bidan. Aku sempat memanggil bintangku ''dede..''. Ayolah bintang kecilku bantu bunda.. ''bismillahirahmanirrahiim..''. Yaapp.. ''oe oe oe.'', suara tangis bayi memekik ke segala sudut. Kuhembuskan napas, antara lemas, entah nyata atau mimpi aku pun terpaku dan hanya bisa berucap ''Alhamdulillah, trimakasih ya Allah''. Suami, ibu, dan simbah sampai menangis mendengar tangis pertama putraku. Suamiku mencium keningku lalu mengecup bibirku dengan berlinang air mata,''alhamdulillah trimakasih ya Allah, makasih banget buat perjuangan kamu istriku..''. Aku tersenyum dan mengusap pipi suamiku ''anak kita lahir yank..''. Ibu juga mencium pipiku,''kamu udah jadi ibu sekarang, ibu punya cucu''.
Tangisan bayiku terdengar begitu nyaring. Saat dikumandangkan adzan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri, my little star sempat menghentikan tangisnya lalu menangis kembali setelah iqamat selesai.
Lega sekali rasanya melihat bayiku terlahir sehat, selamat, tak cacat suatu apapun. Terimakasih ya Allah telah memberiku kekuatan dan kelancaran melewati semua ini. Subhanallah, melahirkan itu memang benar2 menakjubkan.
Bayiku dibawa di ruang perawatan, sementara aku masih harus melewati proses pengeluaran plasenta dan penjahitan. Bayi yg aku lahirkan cukup besar, 4,1 kg dengan panjang 48 cm, tak heran jika aku harus mendapat banyak jahitan.
''bu nggak dibius ya? Kan sakit dijahit'', tanyaku pd bu bidan.
''ah nggak sakit koq..'', jawab bu bidan.
Dengan penuh kehati-hatian bu bidan memulai proses penjahitan. Hmm jangan2 ditambah obras kali ya, haha.. Kunikmati setiap tusukan demi tusukan yg jelas perihnya belum seberapa dibanding perjuanganku tadi waktu melahirkan. Kalau ada yg penasaran gimana rasanya dijahit, yg jelas ceklit ceklit gitu kayak disuntik, jadi jangan terlalu paranoid membayangkan gimana rasanya dijahit.
Setelah melahirkan, aku disarankan untuk tidur agar nanti bisa mandi air hangat biar segar. Tapi aku tak bisa tidur walau lelahnya luar biasa. Mungkin aku terlalu antusias dan bahagia menyandang status baru sebagai seorang ibu. Tak bosan2nya memandangi babyku yg tertidur pulas di box. Lihatlah pipi yg chubby itu, hidung, bibir, dagu, dan matanya seolah seperti fotocopy wajah ayahnya. Aku cari2 di mana bentuk wajahku yg mungkin tercetak di wajahnya, sepertinya wajahnya didominasi oleh wajah ayahnya, xixixi. Kata mahasiswi2 akbid yg siang harinya datang ke tempat bidan, bayiku bayi cantik, jenis kelaminnya laki2 tapi wajahnya kayak bayi perempuan.
Aku sempat susah buang air kecil, apalagi jahitan itu serasa perih sekali.
Akhirnya aku menempuh jalan selang untuk mengeluarkan air seni. Walau agak sakit dan perih, namun lega rasanya.
Indah sekali hari ini. Welcome to the world TARAKA ATAULLAH KHAIRIY (sang bintang karunia dr Allah yang memiliki banyak kebaikan), semoga kamu menjadi anak shaleh dan kamu kan selalu menjadi bintang di hati kami, aamiin
Ajakan mengejan dr dalam semakin gencar mendorongku untuk mengejan sekuat yg aku bisa, sampai napas ini habis, ibarat penyanyi yg berlatih vokal untuk mencapai nada tertinggi. Bu bidan menyuruhku untuk mengambil napas lalu menghembuskannya ketika aku sudah berada di ujung kelelahan. Tiap selesai mengejan, bu bidan selalu berkomentar ''pintar.. Lagi.. Ayo..'', seperti guru TK yg memuji muridnya karena berhasil menyanyikan sebuah lagu. Aku akui, cara yg ditempuh bu bidan cukup efektif mengalirkan energi2 positif dalam otakku.
Ku lihat sekeliling ruangan dan kuamati gerakan jarum jam dinding dengan napas terengah-engah, peluh menggenang, dan aku bertanya2 ''kapankah perjuangan ini akan berakhir?'' Aku tahu benar waktu terus berputar dan moment kelahiran bintang kecilku pasti akan terjadi juga. Aku jadi lebih bersemangat. Ritme mengejanku pun semakin banyak frekuensinya. Suami dan ibu terus menerus memberi semangat.
''ayo mba hes, kepalanya udah keliatan..'', bu bidan mencoba memotivasiku. Aku berusaha sekuat tenaga mengejan dengan kekuatan maksimal yg aku punya. Aku sempat melihat bu bidan dan asistennya mengenakan celemek berbahan plastik dan memakai sarung tangan. Posisiku masih terlentang dan secara refleks kakiku mengangkat tinggi menyandar di tembok. Aku terus berusaha mengejan.
''iya iya pintar.. Ayo neng sebentar lagi dedenya keluar. Ayo de keluar..'', ujar bu bidan. Aku sempat memanggil bintangku ''dede..''. Ayolah bintang kecilku bantu bunda.. ''bismillahirahmanirrahiim..''. Yaapp.. ''oe oe oe.'', suara tangis bayi memekik ke segala sudut. Kuhembuskan napas, antara lemas, entah nyata atau mimpi aku pun terpaku dan hanya bisa berucap ''Alhamdulillah, trimakasih ya Allah''. Suami, ibu, dan simbah sampai menangis mendengar tangis pertama putraku. Suamiku mencium keningku lalu mengecup bibirku dengan berlinang air mata,''alhamdulillah trimakasih ya Allah, makasih banget buat perjuangan kamu istriku..''. Aku tersenyum dan mengusap pipi suamiku ''anak kita lahir yank..''. Ibu juga mencium pipiku,''kamu udah jadi ibu sekarang, ibu punya cucu''.
Tangisan bayiku terdengar begitu nyaring. Saat dikumandangkan adzan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri, my little star sempat menghentikan tangisnya lalu menangis kembali setelah iqamat selesai.
Lega sekali rasanya melihat bayiku terlahir sehat, selamat, tak cacat suatu apapun. Terimakasih ya Allah telah memberiku kekuatan dan kelancaran melewati semua ini. Subhanallah, melahirkan itu memang benar2 menakjubkan.
Bayiku dibawa di ruang perawatan, sementara aku masih harus melewati proses pengeluaran plasenta dan penjahitan. Bayi yg aku lahirkan cukup besar, 4,1 kg dengan panjang 48 cm, tak heran jika aku harus mendapat banyak jahitan.
''bu nggak dibius ya? Kan sakit dijahit'', tanyaku pd bu bidan.
''ah nggak sakit koq..'', jawab bu bidan.
Dengan penuh kehati-hatian bu bidan memulai proses penjahitan. Hmm jangan2 ditambah obras kali ya, haha.. Kunikmati setiap tusukan demi tusukan yg jelas perihnya belum seberapa dibanding perjuanganku tadi waktu melahirkan. Kalau ada yg penasaran gimana rasanya dijahit, yg jelas ceklit ceklit gitu kayak disuntik, jadi jangan terlalu paranoid membayangkan gimana rasanya dijahit.
Setelah melahirkan, aku disarankan untuk tidur agar nanti bisa mandi air hangat biar segar. Tapi aku tak bisa tidur walau lelahnya luar biasa. Mungkin aku terlalu antusias dan bahagia menyandang status baru sebagai seorang ibu. Tak bosan2nya memandangi babyku yg tertidur pulas di box. Lihatlah pipi yg chubby itu, hidung, bibir, dagu, dan matanya seolah seperti fotocopy wajah ayahnya. Aku cari2 di mana bentuk wajahku yg mungkin tercetak di wajahnya, sepertinya wajahnya didominasi oleh wajah ayahnya, xixixi. Kata mahasiswi2 akbid yg siang harinya datang ke tempat bidan, bayiku bayi cantik, jenis kelaminnya laki2 tapi wajahnya kayak bayi perempuan.
Aku sempat susah buang air kecil, apalagi jahitan itu serasa perih sekali.
Akhirnya aku menempuh jalan selang untuk mengeluarkan air seni. Walau agak sakit dan perih, namun lega rasanya.
Indah sekali hari ini. Welcome to the world TARAKA ATAULLAH KHAIRIY (sang bintang karunia dr Allah yang memiliki banyak kebaikan), semoga kamu menjadi anak shaleh dan kamu kan selalu menjadi bintang di hati kami, aamiin
hayuuuuks bu di simak juga cara cara mengecilkan perut setelah melakukan proses melahirkan
ReplyDelete