“Ayaaahhh…”, seringkali aku berteriak memanggil suami karena terciprat
minyak goreng saat sedang memasak. Ayahnya Aka yang memang terbiasa dengan
teriakan refleksku pun segera mendekat ke dapur,
“Ada apa saayaaangg? Goreng aja pakai teriak segala,”
“Kecripatan minyak…”, jawabku setengah memanja.
“Kena minyak aja ampe teriak. Lihat nie aku yang goreng…”, ujarnya sambil
nyemplungin ikan pindang satu per satu. Jemarinya begitu dekat dengan minyak.
Yah, bukan rahasia lagi suamiku emang lebih jago memasak dibanding aku. Allah
memang Maha Adil, seorang wanita yang asal muasalnya tomboy dan tak akrab
dengan pekerjaan dapur dipertemukan dengan seorang pria yang terampil sekali
mengerjakan pekerjaan rumahtangga termasuk memasak.
“Nggak kecipratan kan? Nggak perlu takut menggoreng. Semua juga perlu
belajar dan latihan, lama-lama juga akan terbiasa ama minyak,” sahutnya seperti
seorang guru tata boga yang sedang mengajari muridnya memasak.
“Ayah hebat ya… jago masak…”, selaku sambil senyum-senyum.
“Jangan bilang jago masak kalau masih takut ama minyak..”, ucapnya sambil
memanyunkan bibirnya ke arahku.
Hemmm suamiku ganteng sekali kalau sedang memasak, xixixi… Dan aku suka
inisiatifnya yang kerap kali membantuku mengerjakan pekerjaan rumah, termasuk
juga memasak untukku. Waktu hamil my lil star dulu, nasi goreng buatan suami
tak luput dari list makanan yang selalu aku rindukan tuk memanjakan lidahku
dengan kelezatannya.
“Aku kan udah sering memasak juga, ya emang memasak telah menjadi aktivitas
sehari-hari meski dulu aku sama sekali tak suka kegiatan ini, tapi tetap aja
aku takut terciprat minyak. Kamu mah emang udah terampil karena pernah jualan
ayam goreng waktu SMA,” aku masih saja sempat membela diri, wkwkwk, kendati aku
nggak bisa memungkiri, kemampuan memasakku memang masih begini-begini saja.
Kadang aku juga udah males duluan ketika membaca resep yang menurutku lumayan
ribet dari segi bahan maupun alat pendukungnya.
“Semua juga karena kebiasaan. Lama-lama pasti terampil juga. Kamu mah nggak
perlu memasak yang njlimet atau aneh-aneh buat aku, goreng tempe aja udah lezat
banget di lidahku. Beneran deh, nggak ada yang sanggup menandingi masakan
istri.”
Entahlah, tiap mendengarnya berkata seperti itu aku merasa tersanjung,
antara terharu dan juga termotivasi untuk belajar lebih baik lagi dalam
memasak. Mungkin aku termasuk satu dari sekian banyak istri di dunia ini yang
beruntung karena suami selalu menerima apa adanya masakan apapun yang dimasak
istrinya. Dia tak pernah complain, apalagi mencela. Dia selalu melabeli
masakanku sebagai masakan terlezat di dunia. Hiperbola memang, tapi semua itu
membangkitkan semangat bahwa aku ingin menyenangkan suamiku dengan memasak
masakan yang enak untuknya.
Masih terngiang dalam ingatanku, kala aku masak sayur papaya di Bandung. Di
daerahku pepaya muda sudah biasa ditumis. Tapi di Bandung nggak ada orang yang
mau memasak sayur pepaya. Suami pun heran, dia bertanya padaku, “emang enak?”
Dengan pede super tinggi aku bilang “enak tau… nie salah satu sayur favoritku.
Di Jawa udah biasa masak sayur pepaya.”
Suamiku pun melahap sayur pepaya yang sudah matang tanpa berkomentar
apapun. Saat kutanya bagaimana rasa masakanku, dia bilang enak. Dan setelah aku
cicipi, kok pahit ya…? Aku dan suami pun tertawa cekikikan. Itulah alasan
kenapa orang sini nggak ada yang mau masak tumis pepaya, karena pepaya di
Jawa beda dengan pepaya di sini. Pepaya Bandung berasa pahit kalau ditumis.
Aneh sekali ya, aku pikir dimana-mana yang namanya pepaya ya sama-sama bisa
ditumis.
Kesalahan yang sama
kembali terulang saat aku menumis pare. Suami sempat bertanya, “emang nggak
pahit?” Dan lagi-lagi dengan super pede aku jawab “nggak pahit, di tempatku
udah biasa masak sayur pare.” Dan ternyata rasanya pahiittt, aku pun menyadari
satu fakta lagi bahwa pare Jawa berbeda dengan pare Bandung. Pare Bandung
rasanya pahit kalau ditumis. Yang aku kagumi dari suamiku, dia tetap memakan
tumis pare pahit buatanku tanpa mengeluh. Rasanya bahagia sekali mendapat
penghargaan yang begitu besar darinya.
Aku sebenarnya seorang
istri dan ibu yang tidak jago masak, namun orang kadang mengira aku ini ahli
masak hanya karena melihat body anakku yang montok dan juga body ayahnya yang
semakin montok setelah menikah, hahaha… Dengan kerelaan hati mereka selalu suka
dengan apa yang aku masak. Inilah yang membuatku terlihat seolah-olah pinter
masak. Apalagi menu untuk my lil star terbilang sangat simple dan masih non
gulgar. Aka menyukai makanan yang diolah secara sederhana baik direbus atau
kukus. Untuk cemilan dia juga lebih senang cemilan ala pribumi yang diolah
secara sederhana pula, missal singkong rebus/goreng, kecipir rebus, tempe goreng,
dan lain-lain.
Entah takut ama
cipratan minyak goreng atau nggak di mata anak dan suami aku tetaplah chef
terbaik mereka. Dan aku juga tak berambisi untuk mendapat julukan jago masak,
xixixi. Jika dibandingkan dengan bunda-bunda lain tentu kemampuan masakku nggak
ada apa-apanya, tapi aku ingin terus belajar dan insyaAllah akan selalu
semangat memasak untuk anak dan suami. Dan jujur, sampai saat ini cipratan
minyak masih jadi hal yang menakutkan bagiku, wkwkwk. Jika aku memasak telur
ceplok dan minyaknya memercik pletak-pletak, aku sering mematikan api dulu saat
mau membaliknya, hahaha… tak apalah, yang penting anak dan suami selalu suka
dengan masakanku, it’s enough dan membuatku merasa bahagia dan tersanjung atas
ketulusan hati mereka menerimaku apa adanya dengan kemampuan masak yang
biasa-biasa aja
Ceritanya seru, 11-12 sama aku mbak...
ReplyDeletehihi.. samaan ya gak jago masak, xixixi.. tapi kayaknya mbaknya lebih jago. btw nama blognya lucu... xixixi. mbak yang ngeadd fbku jg kan? namanya siapa mbak? lam kenal ya. btw tau blogku darimana mba? ak baru bikin blog jadi masih gaptek xixixi
ReplyDeleteak tadi dah ngintip blognya mbak, mbak jago masak, jauh bgt ama ak. kalo ak emg bener2 gak jago, xixixi.. btw mau follow blognya mbak tapi lemot bgt nie jaringannya
ReplyDelete