Dulu waktu aku belum menikah, kala
darah 'ABG' bergelora dalam setiap detak nadi, perbincangan mengenai 'kriteria
pasangan idaman' sering kali menjadi topik hangat diantara aku dan teman-temanku.
Entah teman cewek atau cowok, mereka memiliki kriteria khusus untuk calon
pasangannya kelak. Ada yang mengatakan 'cantik, jago masak, rajin sholat,
tinggi, putih, ga neko-neko' sebagai kriteria ideal untuk calon istrinya kelak.
Ada yang berharap mendapat pasangan yang 'ganteng, shaleh, mapan, pinter,
setia'. Wah pastilah yang diinginkan itu mendekati kata 'perfect'. Meskipun
saat itu aku lebih banyak menghabiskan waktu untuk berpacaran dgn 'biologi,
kimia, matematika, dan sederet pelajaran sekolah lainnya', bukan berarti aku
tak punya kriteria pasangan idaman. Meski kenyataannya aku belum tertarik
mikirin 'cinta-cintaan', tapi sama seperti teman-teman perempuan lainnya, aku
pun menyukai tipe cowok yang pinter, rajin ibadah, setia, gak sombong dan akan
jadi nilai plus tersendiri jika cowok itu berpenampilan menarik juga.
Seiring pertambahan usia, cara pandang kita terhadap kriteria yang kita inginkan mungkin akan berubah juga mengikuti perubahan pola pikir kita yang bertambah dewasa. Bisa jadi kriteria penampilan fisik yang tadinya menempati urutan pertama, bergeser turun ke urutan sekian. Seseorang lebih menginginkan sosok pasangan yg membuatnya nyaman dan mau menerima apa adanya.
Faktanya, memang banyak diantara teman-temanku yang pada akhirnya jatuh cinta pada orang yang bisa dibilang jauh dari kriteria yang mereka inginkan. Jika sudah cinta, maka tai kucing pun serasa coklat, itulah yang sering dikatakan orang. Apakah benar seperti itu adanya? Waktu itu aku hanya bisa mengamati saja syndrome cinta yang melanda teman-temanku, karena aku belum merasakannya sendiri. Mereka yang dulu mengatakan kriteria a, b, c, sebagai kriteria pasangan idamannya, ternyata mereka mendapat pasangan yang melenceng dair kriteria idamannya. Kata mereka, yang terpenting mereka merasa nyaman dan mereka sendiri tak tahu alasan yang pasti mengapa mereka jatuh cinta pada pasangannya.
Di saat jatuh cinta, mungkin kriteria idaman yang sebenarnya tak ada pada diri pasangan perlahan-lahan kriteria itu muncul sendiri dalam penglihatan orang tersebut. Seperti, 'ternyata dia manis juga ya kalau lagi senyum, ternyata dia nggak secuek yang aku kira, sekarang dia lebih dewasa'. Karakter atau kriteria bisa diciptakan kalau kita mau. Setiap orang pasti ada keinginan untuk menyenangkan hati pasangannya dengan merubah sikapnya menjadi lebih baik lagi, misalnya seseorang belajar bersikap lebih sabar lagi dalam menghadapi konflik, lebih mampu meredam emosi, yang malas ibadah jadi lebih rajin ibadah karena selalu diingatkan oleh pasangannya, yang sering merasa pesimis menjadi seseorang berjiwa optimis karena dukungan dari pasangannya, ke semua inilah yang akhirnya menjadikan seseorang yang awalnya tidak memiliki kriteria idaman yang diinginkan pasangannya, perlahan-lahan menyandang kriteria idaman sesuai harapan pasangannya. Dan sekalipun kriteria idaman itu tak akan pernah terbentuk, selama dua sejoli itu saling menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing, saling menghargai dan mencintai, maka penyelewengan kriteria idaman ini tak akan jadi masalah.
Setelah aku jatuh cinta pada suami, barulah aku mengerti bahwa 'jatuh cinta itu tak mengenal kriteria'. Dulu aku begitu mengidolakan seorang 'Cristiano Ronaldo' dan sempat berkhayal memiliki pasangan berperawakan tegap, atletis, tinggi, dgn wajah rupawan seperti dirinya, apalagi jika pintar menggocek bola juga seperti pemain bola yang pernah dinobatkan menjadi pemain terbaik dunia itu. Tapi akhirnya aku mengesampingkan semua kriteria itu dan aku jatuh cinta pada seseorang dengan postur tubuh yang biasa saja, tidak atletis, nggak tinggi, wajah biasa aja di mata kebanyakan orang (tapi di mataku dia tetap laki-laki terganteng di dunia), bahkan bermain bola pun hanya pasrah sebagai pemain cadangan di klub tingkat kampung, xixixi. Tapi entahlah, ada sesuatu yang tak bisa kujelaskan kenapa aku menjatuhkan hati padanya. Di mataku asal dia seiman denganku, pengamalan agamanya bagus.. itu udah cukup. Dan hanya bisa mengucap 'Alhamdulillah' karena suamiku juga seorang yang sabar, setia, bertanggungjawab dan begitu menyayangiku. Memang ya kalau udah jatuh cinta, kita tak akan peduli bagaimana buruknya dia.. Ketulusan untuk menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing akan memperkuat rasa cinta, saling menghargai, dan memotivasi dua pribadi itu untuk saling memperbaiki diri, sehingga criteria-kriteria idaman yang dulu bercokol di kepala kita pun tidak kita pedulikan lagi.
And everyday feels like falling in love with my husband... Really..!
Seiring pertambahan usia, cara pandang kita terhadap kriteria yang kita inginkan mungkin akan berubah juga mengikuti perubahan pola pikir kita yang bertambah dewasa. Bisa jadi kriteria penampilan fisik yang tadinya menempati urutan pertama, bergeser turun ke urutan sekian. Seseorang lebih menginginkan sosok pasangan yg membuatnya nyaman dan mau menerima apa adanya.
Faktanya, memang banyak diantara teman-temanku yang pada akhirnya jatuh cinta pada orang yang bisa dibilang jauh dari kriteria yang mereka inginkan. Jika sudah cinta, maka tai kucing pun serasa coklat, itulah yang sering dikatakan orang. Apakah benar seperti itu adanya? Waktu itu aku hanya bisa mengamati saja syndrome cinta yang melanda teman-temanku, karena aku belum merasakannya sendiri. Mereka yang dulu mengatakan kriteria a, b, c, sebagai kriteria pasangan idamannya, ternyata mereka mendapat pasangan yang melenceng dair kriteria idamannya. Kata mereka, yang terpenting mereka merasa nyaman dan mereka sendiri tak tahu alasan yang pasti mengapa mereka jatuh cinta pada pasangannya.
Di saat jatuh cinta, mungkin kriteria idaman yang sebenarnya tak ada pada diri pasangan perlahan-lahan kriteria itu muncul sendiri dalam penglihatan orang tersebut. Seperti, 'ternyata dia manis juga ya kalau lagi senyum, ternyata dia nggak secuek yang aku kira, sekarang dia lebih dewasa'. Karakter atau kriteria bisa diciptakan kalau kita mau. Setiap orang pasti ada keinginan untuk menyenangkan hati pasangannya dengan merubah sikapnya menjadi lebih baik lagi, misalnya seseorang belajar bersikap lebih sabar lagi dalam menghadapi konflik, lebih mampu meredam emosi, yang malas ibadah jadi lebih rajin ibadah karena selalu diingatkan oleh pasangannya, yang sering merasa pesimis menjadi seseorang berjiwa optimis karena dukungan dari pasangannya, ke semua inilah yang akhirnya menjadikan seseorang yang awalnya tidak memiliki kriteria idaman yang diinginkan pasangannya, perlahan-lahan menyandang kriteria idaman sesuai harapan pasangannya. Dan sekalipun kriteria idaman itu tak akan pernah terbentuk, selama dua sejoli itu saling menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing, saling menghargai dan mencintai, maka penyelewengan kriteria idaman ini tak akan jadi masalah.
Setelah aku jatuh cinta pada suami, barulah aku mengerti bahwa 'jatuh cinta itu tak mengenal kriteria'. Dulu aku begitu mengidolakan seorang 'Cristiano Ronaldo' dan sempat berkhayal memiliki pasangan berperawakan tegap, atletis, tinggi, dgn wajah rupawan seperti dirinya, apalagi jika pintar menggocek bola juga seperti pemain bola yang pernah dinobatkan menjadi pemain terbaik dunia itu. Tapi akhirnya aku mengesampingkan semua kriteria itu dan aku jatuh cinta pada seseorang dengan postur tubuh yang biasa saja, tidak atletis, nggak tinggi, wajah biasa aja di mata kebanyakan orang (tapi di mataku dia tetap laki-laki terganteng di dunia), bahkan bermain bola pun hanya pasrah sebagai pemain cadangan di klub tingkat kampung, xixixi. Tapi entahlah, ada sesuatu yang tak bisa kujelaskan kenapa aku menjatuhkan hati padanya. Di mataku asal dia seiman denganku, pengamalan agamanya bagus.. itu udah cukup. Dan hanya bisa mengucap 'Alhamdulillah' karena suamiku juga seorang yang sabar, setia, bertanggungjawab dan begitu menyayangiku. Memang ya kalau udah jatuh cinta, kita tak akan peduli bagaimana buruknya dia.. Ketulusan untuk menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing akan memperkuat rasa cinta, saling menghargai, dan memotivasi dua pribadi itu untuk saling memperbaiki diri, sehingga criteria-kriteria idaman yang dulu bercokol di kepala kita pun tidak kita pedulikan lagi.
And everyday feels like falling in love with my husband... Really..!
No comments:
Post a Comment