Taraka Napak Archapadha

actually i don't know why i wrote "Taraka Napak Archapadha" as the title of my blog. Taraka is my son's name, it comes from "Java Kawi" language, it means star. Star is always be there in the sky that's why i put this title on the top of my blog. Writing is just like hanging my dream above the sky, as the way we try to reach the star. If you believe the power of your dream, dream will come true.. every letter that i write is every second i make a dream... and i believe, someday i will :)
Showing posts with label asi -mpasi-all about mom n baby. Show all posts
Showing posts with label asi -mpasi-all about mom n baby. Show all posts

Monday, August 20, 2012

Blender Oh Blender...


Dalam tulisan kali ini, saya tidak akan bercerita spesifik tentang blender, khususnya blender merk Phillip yang dibeli ibuku saat aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Tetapi tak dipungkiri, tulisan ini memang berkaitan dengan blender. Ini cerita tentang perjalanan mpasi my beloved son Taraka Ataullah Khairiy yang begitu panjang, sepanjang namanya, tak hanya itu, bisa dibilang perjalanan mpasi Aka menguras tenaga, waktu, pikiran, dan emosi (haaiiiyahhh, sok iye aje.. hehehe). Tapi sepertinya, teman-teman yang sering aku ajak sharing atau pernah membaca statusku di fb tentang mpasi Aka bisa memahami mengapa aku menulis kata “menguras”. Ok tanpa basa-basi lagi, kita masuk ke cerita yang sesungguhnya…

My Aka memulai petualangan mpasinya saat dia genap berusia 6 bulan. Kenapa 6 bulan? Tanpa dijelaskan sekalipun, bunda-bunda pastinya tahu alasannya. Sebelum umur 6 bulan, organ pencernaan bayi belum bisa mencerna makanan secara sempurna selain asi. Jauh sebelum Aka lahir, aku sudah banyak membaca pentingnya asi eksklusif selama 6 bulan pertama. Setelah 6 bulan, asi tetap lanjut ditambah makanan pendamping asi yang alangkah baiknya mpasi yang kita berikan untuk buah hati adalah mpasi homemade, yang kita masak sendiri dengan bumbu cinta dengan gizi seimbang tanpa pengawet dan zat aditif artificial lainnya. Ada banyak aliran mpasi yang bisa aku dapatkan informasinya melalui mbah google atau grup mpasi di facebook. Aku sudah membaca beberapa aliran mpasi, ada yang mengawali mpasi dengan buah, ada yang memilih serealia sebagai mpasi awal, ada yang mengawalinya dengan puree sayur. Aku mengawalinya dengan puree buah. Alasanku memilih metode ini adalah karena buah mudah dicerna. Bisa dibayangkan, selama 6 bulan pertama bayi belum makan makanan apapun selain asi, organ pencernaannya akan bekerja ekstra keras jika bayi langsung dikenalkan dengan makanan yang sulit dicerna. Karena itu puree buah yang disajikan di awal-awal mpasi lebih baik teksturnya seencer asi dengan sistem 4 days rule, satu buah dikonsumsi selama 4 hari berturut-turut untuk mengetahui ada reaksi alergi atau tidak. Setelah itu, bisa diganti buah yang lain. Aku dapatkan ilmu ini dari sebuah grup yang keren sekali bernama Homemade Healthy Baby Food. Aku memilih buah alpukat sebagai menu Aka di hari pertama. Seminggu awal makan 1x sehari, minggu berikutnya 2x sehari. Oya ada sesuatu yang ingin aku tambahkan, ada dua metode cara pemberian mpasi, yaitu metode konvensional spoonfeeding (bayi makan dengan disuapi) dan metode baby led weaning (BLW). Pada metode BLW baby tidak dikenalkan dengan puree, tapi langsung dikenalkan dengan finger food (makanan utuh) dan bayi dibiarkan makan sendiri, untuk lebih jelasnya bunda semua bisa browsing artikel tentang baby led weaning atau bergabung di grup Baby Led Weaning Indonesia. Silakan pilih metode aliran dan pemberian mpasi yang menurut bunda cocok untuk diterapkan pada buah hati bunda.

MPASI umur 6 bulan
Awal memberi buah untuk Aka, alpukatnya aku kerok dengan sendok lalu aku campur dengan asip (kira-kira 50ml). Namun agaknya teksturnya kurang encer, hingga membuat Aka hoek-hoek. Akhirnya alpukatnya diblender lembut. Awal-awal selalu menggunakan asi, tapi lama-lama aku campur dengan air matang karena aku nggak rutin memerah asi. Lagipula freezernya kecil dan biasanya untuk menyimpan daging. Aka pernah sembelit, susah pup sampai mengejan kuat, ternyata penyebabnya adalah apel. Meski sudah diberi papaya, namun pupnya masih susah. Setelah aku kasih semangka, pup Aka lancer kembali. Sebagai informasi, semangka dan pir bisa diandalkan untuk melancarkan pup. Di hari-hari berikutnya Aka tidak lagi sembelit makan apel. Organ pencernaannya sudah bisa beradaptasi dengan baik untuk mencerna apel. Di masa-masa awal mpasi Aka, aku bersemangat sekali untuk mengenalkan buah-buah yang berbeda pada Aka. Tapi harus tetap mengikuti rule, empat hari mengkonsumsi buah yang sama.

MPASI umur 7 bulan
Pada fase ini aku mulai mengenalkan Aka pada karbohidrat, sayuran dan protein nabati seperti tahu dan tempe. Untuk pemberian karbohidrat pun harus karbo tunggal dulu, tujuannya untuk mengetahui ada reaksi alergi atau tidak. Seperti halnya saat aku mengenalkan buah pada Aka, aku pun bergantian memberikan karbohidrat yang berbeda-beda untuk Aka, beras putih, jagung, ubi, kentang, labu kuning, beras merah, dll. Dan perlu dicatat, tidak boleh ada penambahan gula-garam hingga usia 1 tahun, lebih baik lagi jika diteruskan hingga 2 tahun. Pemberian gulgar yang berlebihan sejak dini bisa memicu obesitas. Mungkin ada orang yang bertanya “apa nggak takut kekurangan yodium?” Nggak dong, yodium tidak hanya terdapat pada garam. Banyak bahan makanan yang mengandung yodium seperti ikan, telur, daging, bawang merah, sayuran dan lain-lain. Dalam asi pun sudah terkandung yodium, di mana kandungan nutrisi yang ada pada asi menyesuiakan kebutuhan bayi. Lagipula, yodium hanyalah zat yang ditambahkan pada garam untuk membantu kita mengkonsumsi yodium, karena garam itu hampir dibutuhkan setiap hari sebagai bumbu masakan dewasa. Meski makanan berasa hambar (di lidah orang dewasa), tapi Alhamdulillah my Aka lahap-lahap aja memakan mpasi buatan gegenya. Indra perasa pada bayi itu masih sangat peka, karena itu dengan memberikan mpasi non gulgar akan membuat bayi mengenali rasa asli makanan. Mpasi di umur 7 bulan ini masih bertekstur lembut ala blender. Jika ada bagian yang kurang lembut, biasanya akan membuat Aka hoek-hoek seperti mau muntah.

MPASI umur 8 bulan
Pada umur 8 bulan, ada penambahan bahan makanan yang boleh dikonsumsi bayi, diantaranya protein hewani (daging ayam, daging sapi, ikan, produk olahan susu (keju, unsalted butter dan yoghurt), bumbu aromatik seperti bawang merah-putih, jahe, kencur, dll, santan serta minyak (minyak sayur, minyak kelapa, minyak zaitun (evoo (extract virgin olive oil) dan eloo (extract light olive oil)). Sebenarnya aku kurang paham tentang evoo dan eloo, yang aku tahu evoo ditambahkan langsung pada makanan bayi, sedangkan eloo digunakan untuk menumis. Kata ibu-ibu di grup, kedua minyak ini bisa menjadi solusi untuk menaikkan berat badan bayi selain bahan makanan tinggi kalori lainnya seperti alpukat, pisang, mangga, keju, unsalted butter, double karbo, santan, dll. Selama mpasi Aka belum pernah aku beri evoo dan eloo. Di daerahku barang tersebut masih menjadi barang langka. Apalagi rumah jauh dari swalayan, ditambah harganya yang mahal, jadi aku memilih makanan lain yang mudah didapat, harga terjangkau tapi tak kalah soal gizi. Aka juga nggak begitu suka keju dan unsalted butter, sepertinya dia memang tidak suka produk olahan susu. Pada tahap ini pun, makanan Aka masih diblender karena belum mau naik tekstur.

Sejak Aka berusia 9 bulan, aku sudah melatihnya untuk makan nasi tim tanpa diblender. Namun Aka sering sekali menolak, bahkan berujung dengan tangisan, ngambek, dan akhirnya nggak mau menyentuh makanannya sebelum makanan tersebut diblender. Aku pikir ini karena pengaruh belum tumbuhnya gigi pertama Aka. Aku pun mencoba bersabar, menuggu sampai Aka tumbuh gigi dan mau belajar makan makanan bertekstur lebih kasar dari biasanya.

Menjelang umur 10 bulan, Akhirnya dua gigi pertama Aka tumbuh di gusi atas. Senangnya melihatnya begigi dua. Jika dia tertawa, dia terlihat semakin manis. Tapi, selera makannya masih sama seperti sebelumnya, hanya mau makanan yang diblender.

Waktu terus berjalan, proses belajar kami masih terus berlanjut. Namun bukan kemajuan yang kami dapatkan. Aka semakin menolak makanan yang tidak diblender. Jika ada makanan bertekstur kasar menyentuh mulutnya, dia langsung melepeh dan menangis. Sementara orangtuaku sudah menuntutku untuk membiasakan Aka makan nasi tanpa diblender. Banyak sekali orang-orang yang mencela makanan Aka seperti busa, udah gedhe tapi tetep maem bubur, dan Aka pun mulai dibandingkan dengan anak-anak lain seumuran Aka atau yang lebih muda darinya yang kebetulan sudah bisa makan nasi biasa. Bahkan terlontar judgement negative bahwa yang menyebabkan Aka belum bisa berjalan adalah makanan Aka yang masih non gulgar dan bertekstur lembut. Kata orang, hal itu menyebabkan tulang anak tidak akas. Bahkan seringkali orang menyebut Aka lambat, badan gedhe tapi lambat. Huahhh sedih sekali mendengarnya. Hanya suami dan teman-teman terdekat yang setia menjadi tempat bersandar, pelipur lara, pemberi support dan semangat. Berbagai cara sudah aku lakukan, mulai dari mengkombinasi makanan Aka yang terdiri dari tekstur kasar dan lembut (porsi kasarnya lebih sedikit), namun selalu saja dia melepeh makanannya atau muntah jika mendapati makanan bertekstur kasar, sampai mencoba memenyet makanannya dengan sendok agar teksturnya lebih lembek dan disiram kuah yang banyak, tetap saja Aka tak mau menelan makanannya, selalu dilepeh dan dilepeh. Ujung-ujungnya dia mengambek dan tak mau makan sebelum makanannya diblender. Hal yang paling aku benci adalah ketika mati lampu. Aka tak bisa makan karena makanannya tidak diblender. Hal inilah yang akhirnya makin memantapkan hati untuk membeli blender manual. Memang sie tidak bisa memblender nasi, sayur dan lauk dengan lembut, tapi setidaknya kentang, ubi, dan labu siam bisa digiling dengan lembut.

Ketika aku merasa kehabisan cara, aku pun berpasrah pada Allah. Mencoba intropeksi diri, mungkin selama ini aku masih kurang bersabar dalam menghadapi kesulitan Aka makan makanan bertekstur kasar. Mungkin aku cepat menyerah pada blender jika sudah melihat urat kemarahan di wajahnya dan aku pun merasa tak tega bila tangis memecah karena dia tak mau makan nasi tanpa blender. Aku berusaha enjoy menjalani kondisi ini. Meyakinkan diri, bahwa suatu saat Aka pasti bisa makan makanan bertekstur kasar. Setidaknya dia tak pernah GTM atau mogok makan. Itu salah satu hal yang harus aku syukuri. Mungkin selama ini tanpa aku sadari aku sudah banyak mengeluh tentang Aka yang belum mampu makan makanan bertekstur kasar. Betapa perjuangan itu tak hanya berakhir di saat tangis pertamanya memecah di ruang bersalin, tapi sejak dia bersemayam dalam rahimku, hingga akhirnya dia lahir dan di sepanjang hayatnya, aku tak boleh berhenti berjuang. Aku harus terus berjuang bersamanya, mendoakannya,  melapangkan hati dan kesabaranku dalam menghadapi hal-hal yang tidak sesuai harapan. Di setiap akhir sujudku, aku selalu berdoa agar my Aka mau belajar dan berjuang bersamaku untuk memakan makanan tanpa diblender. Bahkan saat dia terlelap, aku kerap kali berbisik “Aka anak gege yang pintar, sholeh, ganteng, sehat, besok kita belajar maem makanan bertekstur kasar lagi ya sayang. Gege tahu Aka pasti bisa.. semangat Aka, gege akan terus mendampingimu untuk belajar dan belajar…”

Aku selalu percaya, Allah senantiasa mendengar doa hambaNya dan akan memberikan yang terbaik untuk kita di waktu yang tepat. Perlahan-lahan Aka sudah mulai minat mengemil finger food. Awalnya dia suka melepeh finger foodnya, lama-lama dia pun semakin pintar memakan finger food, seperti potongan buah, singkong rebus, keripik pisang/singkong, pisang rebus, tempe goreng/kukus, dan agar-agar. Kendati untuk makan berat (nasi dan lauknya) dia belum mau makan bertekstur kasar, tapi aku sangat mensyukuri kemajuan yang dia alami.

My lil star bisa benar-benar berjalan lancar saat dia genap berumur 15 bulan. Penantian untuk bisa berjalan mungkin sama lamanya dengan penantian untuk mau makan makanan bertekstur kasar. Alhamdulillah, tidak ada lagi yang mengejeknya karena belum bisa jalan. Dia tidak hanya mengalami kemajuan di perkembangan motorik kasarnya, tapi soal makan, dia pun mengalami banyak kemajuan. Dia tidak lagi marah dan menangis saat aku suapi nasi tanpa blender. Meski masih suka dilepeh, namun aku terus melatihnya setiap hari. Makan beratnya pun menggunakan dua tekstur, kasar dan lembut. Si blender tua itu masih menjadi sahabat setia yang mengiringi perjalanan mpasi Aka.

Waktu semakin berlalu tanpa mau menoleh ke belakang. Di usianya yang mau menginjak ke-18 bulan, akhirnya my Aka sudah full makan nasi tanpa blender. Memang sie mesti berkuah, sayur dan lauknya juga harus dicincang kecil-kecil, tapi bagi kami itu adalah kemajuan yang luar biasa. Hooreeee… senang sekali rasanya, seakan aku ingin sekali meloncat tinggi-tinggi dan berteriak ke semua penjuru, bahwa anakku sudah bisa makan nasi biasa tanpa blender.. Suami dan orangtuaku pun ikut senang melihat keberhasilan ini.. Terimakasih untuk kerjasamamu yang sangat baik Aka. Gege bangga padamu dan akan selalu mencintaimu. Perjuangan belum berakhir. Banyak PR yang harus kita kerjakan bersma-sama. Semoga aku tak akan pernah lelah belajar untuk menjadi ibu yang baik untukmu dan aku berharap ladang kesabaran di hati gege tak akan gersang, akan selalu hijau bersemi dalam merawat dan membesarkanmu dengan penuh cinta. Blender tua ibuku yang masih semlohai, bohai dan jos, akhirnya setelah sekian lama kami begitu bergantung padamu, sekarang kami sudah lepas darimu. Bagaimanapun kamu juga berjasa dalam mengiringi perjalanan mpasi Aka, dan jangan khawatir, kami masih membutuhkanmu untuk membuat jus, hehe..  sepertinya sudah terlalu panjang. Aku tulis cerita ini dari pukul delapan malam sampai jam 9 lebih, mau jam setengah sepuluh, dan tentu saja saat mau upload ke fb atau blog, lemoott banget, tapi jadi nggak bete karena dibarengi jowal-jawil ayahnya Aka yang ikut membaca tulisan ini dan meledekku, katanya aku begitu serius kalau lagi ngetik, xixixi.. Semoga kisah perjalanan mpasi Aka bermanfaat untuk semua ;-)

Monday, July 9, 2012

Resiko MPASI Dini

copas dari grup tambah asi, tambah cinta


Resiko pemberian MPASI terlalu dini(Dirangkum & ditulis bebas oleh Luluk Lely Soraya I, 26 March 2005)
Banyak sekali pertanyaan dan kritik yang timbul mengenai pemberian MPASIdi usia < 6 bl. Bahkan banyak dari kita tidak pernah tahu mengapa WHO &IDAI mengeluarkan statement bahwa ASI eksklusif (ASI saja tanpa tambahanapapun bahkan air putih sekalipun) diberikan pada 6 bl pertama kehidupanseorg anak. Kemudian setelah umur 6 bulan anak baru mulai mendapatkanMPASI berupa bubur susu, nasi tim, buah, dsb.

Alasan menunda pemberian MPASI
Mengapa harus menunda memberikan MPASI pada anak sampai ia berumur 6 bl ?!Kalo jaman dulu (baca : sebelum diberlakukan ASI eksklusif 6 bl) umur 4 blaja dikasih makan bahkan ada yg umur 1 bl. Dan banyak yang berpendapat gakada masalah apa-apa tuh dg anaknya.
Satu hal yg perlu diketahui bersama bahwa jaman terus berubah. Demikianjuga dengan ilmu & teknologi. Ilmu medis juga terus berkembang dan berubahberdasarkan riset2 yg terus dilakukan oleh para peneliti. Sekitar lebihdari 5th yg lalu, MPASI disarankan diperkenalkan pada anak saat ia berusia4 bl. Tetapi kemudian beberapa penelitian tahun2 terakhir menghasilkanbanyak hal sehingga MPASI sebaiknya diberikan >6bl.
Mengapa umur 6 bl adalah saat terbaik anak mulai diberikan MPASI ?!

1.Pemberian makan setelah bayi berumur 6 bulan memberikan perlindungan besar dari berbagai penyakit.
Hal ini disebabkan sistem imun bayi < 6 bl belum sempurna. Pemberian MPASIdini sama saja dg membuka pintu gerbang masuknay berbagai jenis kuman.Belum lagi jika tidak disajikan higienis. Hasil riset terakhir daripeneliti di Indonesia menunjukkan bahwa bayi yg mendapatkan MPASI sebelumia berumur 6 bl, lebih banyak terserang diare, sembelit, batuk-pilek, danpanas dibandingkan bayi yg hanya mendapatkan ASI eksklusif. Belum lagipenelitian dari badan kesehatan dunia lainnya.

2.Saat bayi berumur 6 bl keatas, sistem pencernaannya sudah relatifsempurna dan siap menerima MPASI.
Beberapa enzim pemecah protein spt asam lambung, pepsin, lipase, enzimamilase, dsb baru akan diproduksi sempurna pada saat ia berumur 6 bl.

3.Mengurangi resiko terkena alergi akibat pada makananSaat bayi berumur < 6 bl, sel2 di sekitar usus belum siap utk kandungandari makanan. Sehingga makanan yg masuk dapat menyebabkan reaksi imun danterjadi alergi.

4.Menunda pemberian MPASI hingga 6 bl melindungi bayi dari obesitas dikemudian hari. Proses pemecahan sari2 makanan yg belum sempurna.
Pada beberapa kasus yg ekstrem ada juga yg perlu tindakan bedah akibatpemberian MPASi terlalu dini. Dan banyak sekali alasan lainnya mengapaMPASI baru boleh diperkenalkan pada anak setelah ia berumur 6 bl.

Masih banyak yg mengenalkan MPASI < 6 bl
Kalo begitu kenapa masih banyak orangtua yg telah memberikan MPASI keanaknya sebelum berumur 6 bl ? Banyak sekali alasan kenapa ortumemberikan MPASI < 6 bl. Umumnya banyak ibu yg beranggapan kalo anaknyakelaparan dan akan tidur nyenyak jika diberi makan. Meski gak adarelevansinya banyak yg beranggapan ini benar. Kenapa ? Karena belumsempurna, sistem pencernaannya harus bekerja lebih keras utk mengolah &memecah makanan. Kadang anak yg menangis terus dianggap sbg anak gakkenyang. Padahal menangis bukan semata2 tanda ia lapar.
Belum lagi masih banyak anggapan di masyarakat kita spt ortu terdahulubahwa anak saya gak papa tuh dikasih makan pisang pas kita umur 2 bl.Malah sekrg jadi orang.
Alasan lainnya juga bisa jadi juga tekanan dari lingkungan dan gak adadukungan spt alasan di atas. Dan gencarnya promosi produsen makanan bayiyg belum mengindahkan ASI eksklusif 6 bl.

Aturan MPASI setelah 6 bulan : Karena < 6 bl mengandung resiko
Sekali lagi tidak mungkin ada saran dari WHO & IDAI jika tidak dilakukanpenelitian panjang. Lagipula tiap anak itu beda. Bisa jadi gak jadimasalah utk kita tapi belum tentu utk yg lain.Misalkan, ilustrasinya sama spt aturan cuci tangan sebelum makan. Adaanak yg dia tidak terbiasa cuci tangan sebelum makan. Padahal ia barubermain2 dengan tanah dsb. Tapi ia tidak apa2. Sedangkan satu waktu ataudi anak yg lain, begitu ia melakukan hal tsb ia langsung mengalamigangguan pencernaan karena kotoran yg masuk ke makanan melalui tangannya.Demikian juga dengan pemberian MPASI pada anak terlalu dini. Banyak yangmerasa ”anak saya gak masalah tuh saya kasih makan dari umur 3 bulan”.Sehingga hal tsb menjadi ”excuse” atau alasan utk tidak mengikuti aturanyg berlaku. Padahal aturan tsb dibuat karena ada resiko sendiri. Lagipulapenelitan ttg hal ini terus berlanjut. Saat ini mungkin pengetahuan danhasil riset yg ada masih terbatas dan ”kurang” bagi beberapa kalangan.Tapi di kemudian hari kita tidak tahu. Ilmu terus berkembang.
Dan satu hal yg penting. Aturan agar menunda memberikan MPASi pada anak <6 bulan bukan hanya berlaku utk bayi yg mendapatkan ASI eksklusif. Tetapijuga bagi bayi yg tidak mendapatkan ASI (susu formula atau mixed).
Semuanya akan kembali kepada ayah & ibu. Jika kita tahu ada resiko dibalikpemberian MPASI < 6 bl, maka mengapa tidak kita menundanya. Apalagi banyaksekali penelitian & kasus yang mendukung hal tsb.
Apapun keputusan ibu & ayah, apakah mau memberikan MPASi 6bl, alangkah baiknya dipertimbangkan dg baik untung ruginya bagi anak,bukan bagi orang tuanya. Sehingga keputusan yg diambil adalah yg terbaikutk sang anak.

Sumber :
Solid Food in Early Infancy increases risk of Eczema, from original source: Fergusson DM et al Early solid feeding and recurrent childhood eczema: a10-year longitudinal study Pediatrics 1990 Oct; 86:541-546.[Medlineabstract][Download citation]
World Health Organization (WHO). Infant Feeding Guidelines. 2003.Information for Health Professionals on Infant Feeding.www.who.int/health_topics/breastfeeding/en/
World Health Organization (WHO). 2003. Global Strategy for Infant andYoung Child Feeding. www.who.int
World Health Organization (WHO). Complementary feeding. Report of theglobal consultation. Summary of guiding principles. Geneva, 10-13 December2001. www.who.int
The introduction of solids in relation to asthma and eczema.A Zutavern, E von Mutius, J Harris, P Mills, S Moffatt, C White and PCullinan. http://adc.bmjjournals.com/cgi/content/abstract/89/4/303
AAP. 1990. Early solid feeding and recurrent childhood eczema: a 10-yearlongitudinal study. DM Fergusson, LJ Horwood and FT Shannon.http://pediatrics.aappublications.org/cgi/content/abstract/86/4/541
NCBI. Protective nutrients and bacterial colonization in the immaturehuman gut. Dai D, Walker WA.http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?cmd=Retrieve&db=PubMed&list_uids=10645469&dopt=Abstract
Relation between early introduction of solid food to infants and theirweight and illnesses during the first two years of life. Forsyth JS,Ogston SA, Clark A, Florey CD, Howie PW. Dept of Child Health, NinewellsHospital and Medical School, Dundee.

Smart Patient

Sebagian Alasan Kenapa Dokter Dokter Di Negara negara Maju "pelit" Kasih Obat ke Anak yang Sakit ? ** Mengapa? Simak dengan sabar kisah pengalaman dan paparan menarik dari seorang Ibu yang dokter. **
  Malik tergolek lemas. Matanya sayu. Bibirnya pecah-pecah. Wajahnya kian tirus. Di mataku ia berubah seperti anak dua tahun kurang gizi. Biasanya aku selalu mendengar celoteh dan tawanya di pagi hari. Kini tersenyum pun ia tak mau. Sesekali ia muntah. Dan setiap melihatnya muntah, hatiku ...tergores-gores rasanya. Lambungnya diperas habis-habisan seumpama ampas kelapa yang tak lagi bisa mengeluarkan santan. Pedih sekali melihatnya terkaing-kaing seperti itu.
  Waktu itu, belum sebulan aku tinggal di Belanda, dan putraku Malik terkena demam tinggi. Setelah tiga hari tak juga ada perbaikan aku membawanya ke huisart (dokter keluarga) kami, dokter Knol namanya.
  "Just wait and see. Don’t forget to drink a lot. Mostly this is a viral infection." kata dokter tua itu.
  "Ha? Just wait and see? Apa dia nggak liat anakku dying begitu?" batinku meradang. Ya…ya…aku tahu sih masih sulit untuk menentukan diagnosa pada kasus demam tiga hari tanpa ada gejala lain. Tapi masak sih nggak diapa-apain. Dikasih obat juga enggak! Huh! Dokter Belanda memang keterlaluan! Aku betul-betul menahan kesal.

"Obat penurun panas Dok?" tanyaku lagi.
"Actually that is not necessary if the fever below 40 C."

Waks! Nggak perlu dikasih obat panas? Kalau anakku kenapa-kenapa memangnya dia mau nanggung? Kesalku kian membuncah.
Tapi aku tak ingin ngeyel soal obat penurun panas. Sebetulnya di rumah aku sudah memberi Malik obat penurun panas, tapi aku ingin dokter itu memberi obat jenis lain. Sudah lama kudengar bahwa dokter disini pelit obat. Karena itu aku membawa setumpuk obat-obatan dari Indonesia, termasuk obat penurun panas.
Dua hari kemudian, demam Malik tak kunjung turun dan frekuensi muntahnya juga bertambah. Aku segera kembali ke dokter. Tapi si dokter tetap menyuruhku wait and see. Pemeriksaan laboratorium baru akan dilakukan bila panas anakku menetap hingga hari ke tujuh.

"Anakku ini suka muntah-muntah juga Dok," kataku.
Lalu si dokter menekan-nekan perut anakku. "Apakah dia sudah minum suatu obat?"

Aku mengangguk. "Ibuprofen syrup Dok," jawabku.
  Eh tak tahunya mendengar jawabanku, si dokter malah ngomel-ngomel,"Kenapa kamu kasih syrup Ibuprofen? Pantas saja dia muntah-muntah. Ibuprofen itu sebaiknya tidak diberikan untuk anak-anak, karena efeknya bisa mengiritasi lambung. Untuk anak-anak lebih baik beri paracetamol saja."

Huuh! Walaupun dokter itu mengomel sambil tersenyum ramah, tapi aku betul-betul jengkel dibuatnya. Jelek-jelek begini gue lulusan fakultas kedokteran tau! Nah kalau buat anak nggak baik kenapa di Indonesia obat itu bertebaran! Batinku meradang.
Untungnya aku masih bisa menahan diri. Tapi setibanya dirumah, suamiku langsung menjadi korban kekesalanku."Lha wong di Indonesia, dosenku aja ngasih obat penurun panas nggak pake diukur suhunya je. Mau 37 keq, 38 apa 39 derajat keq, tiap ke dokter dan bilang anakku sakit panas, penurun panas ya pasti dikasih. Sirup ibuprofen juga dikasih koq ke anak yang panas, bukan cuma parasetamol. Masa dia bilang ibuprofen nggak baik buat anak!" Seperti rentetan peluru, kicauanku bertubi-tubi keluar dari mulutku.
  "Mana Malik nggak dikasih apa-apa pulak, cuma suruh minum parasetamol doang, itu pun kalau suhunya diatas 40 derajat C! Duuh memang keterlaluan Yah dokter Belanda itu!"

Suamiku menimpali, "Lho, kalau Mama punya alasan, kenapa tadi nggak bilang ke dokternya?"
Aku menarik napas panjang. "Hmm…tadi aku sudah kadung bete sama si dokter, rasanya ingin buru-buru pulang saja. Tapi…alasannya apa ya?"
  Mendadak aku kebingungan. Aku akui, sewaktu praktek menjadi dokter dulu, aku lebih banyak mencontek apa yang dilakukan senior. Tiga bulan menjadi co-asisten di bagian anak memang membuatku kelimpungan dan belajar banyak hal, tapi hanya secuil-secuil ilmu yang kudapat. Persis seperti orang yang katanya travelling keliling Eropa dalam dua minggu. Menclok sebentar di Paris, lalu dua hari pergi ke Roma. Dua hari di Amsterdam, kemudian tiga hari mengunjungi Vienna. Puas beberapa hari berdiam di Berlin dan Swiss, kemudian waktu habis. Tibalah saatnya pulang lagi ke Indonesia. Tampaknya orang itu sudah keliling Eropa, padahal ia hanya mengunjungi ibukota utama saja. Masih banyak sekali negara dan kota-kota di Eropa yang belum disambanginya. Dan itu lah yang terjadi pada kami, pemuda-pemudi fresh graduate from the oven Fakultas Kedokteran. Malah kadang-kadang apa yang sudah kami pelajari dulu, kasusnya tak pernah kami jumpai dalam praktek sehari-hari. Berharap bisa memberikan resep cespleng seperti dokter-dokter senior, akhirnya kami pun sering mengintip resep ajian senior!
  Setelah Malik sembuh, beberapa minggu kemudian, Lala, putri pertamaku ikut-ikutan sakit. Suara Srat..srut..srat srut dari hidungnya bersahut-sahutan. Sesekali wajahnya memerah gelap dan bola matanya seperti mau copot saat batuknya menggila. Kadang hingga bermenit-menit batuknya tak berhenti. Sesak rasanya dadaku setiap kali mendengarnya batuk. Suara uhuk-uhuk itu baru reda jika ia memuntahkan semua isi perut dan kerongkongannya. Duuh Gustiiii…kenapa tidak Kau pindahkan saja rasa sakitnya padaku Nyerii rasanya hatiku melihat rautnya yang seperti itu. Kuberikan obat batuk yang kubawa dari Indonesia pada putriku. Tapi batuknya tak kunjung hilang dan ingusnya masih meler saja. Lima hari kemudian, Lala pun segera kubawa ke huisart. Dan lagi-lagi dokter itu mengecewakan aku.
  "Just drink a lot," katanya ringan.
  Aduuuh Dook! Tapi anakku tuh matanya sampai kayak mata sapi melotot kalau batuk, batinku kesal.
  "Apa nggak perlu dikasih antibiotik Dok?" tanyaku tak puas.
  "This is mostly a viral infection, no need for an antibiotik," jawabnya lagi.

Ggrh…gregetan deh rasanya. Lalu ngapain dong aku ke dokter, kalo tiap ke dokter pulang nggak pernah dikasih obat.
Paling enggak kasih vitamin keq! omelku dalam hati.
  "Lalu Dok, buat batuknya gimana Dok? Batuknya tuh betul-betul terus-terusan," kataku ngeyel.

Dengan santai si dokter pun menjawab,"Ya udah beli aja obat batuk Thyme syrop. Di toko obat juga banyak koq."
Hmm…lumayan lah… kali ini aku pulang dari dokter bisa membawa obat, walau itu pun harus dengan perjuangan ngeyel setengah mati dan walau ternyata isi obat Thyme itu hanya berisi ekstrak daun thyme dan madu.
  "Kenapa sih negara ini, katanya negara maju, tapi koq dokternya kayak begini." Aku masih saja sering mengomel soal huisart kami kepada suamiku. Saat itu aku memang belum memiliki waktu untuk berintim-intim dengan internet. Jadi yang ada di kepalaku, cara berobat yang betul adalah seperti di Indonesia.

Di Indonesia, anak-anakku punya langganan beberapa dokter spesialis anak. Dokter-dokter ini pernah menjadi dosenku ketika aku kuliah. Maklum, walaupun aku lulusan fakultas kedokteran, tapi aku malah tidak pede mengobati anak anakku sendiri.
Dan walaupun anak-anakku hanya menderita penyakit sehari-hari yang umum terjadi pada anak seperti demam, batuk pilek, mencret, aku tetap membawa mereka ke dokter anak.
Meski baru sehari, dua atau tiga hari mereka sakit, buru-buru mereka kubawa ke dokter. Tak pernah aku pulang tanpa obat. Dan tentu saja obat dewa itu, sang antibiotik, selalu ada dalam kantong plastik obatku.
  Tak lama berselang putriku memang sembuh. Tapi sebulan kemudian ia sakit lagi. Batuk pilek putriku kali ini termasuk ringan, tapi hampir dua bulan sekali ia sakit. Dua bulan sekali memang lebih mendingan karena di Indonesia dulu, hampir tiap dua minggu ia sakit. Karena khawatir ada yang tak beres, lagi-lagi aku membawanya ke huisart.
  "Dok anak ini koq sakit batuk pilek melulu ya, kenapa ya Dok.?

Setelah mendengarkan dada putriku dengan stetoskop, melihat tonsilnya, dan lubang hidungnya,huisart-ku menjawab,
"Nothing to worry. Just a viral infection."
  Aduuuh Doook… apa nggak ada kata-kata lain selain viral infection seh! Lagi lagi aku sebal.
  "Tapi Dok, dia sering banget sakit, hampir tiap sebulan atau dua bulan Dok," aku ngeyel seperti biasa.

Dokter tua yang sebetulnya baik dan ramah itu tersenyum.
"Do you know how many times normally children get sick every year?"
  Aku terdiam. Tak tahu harus menjawab apa. "enam kali," jawabku asal.

"Twelve time in a year, researcher said," katanya sambil tersenyum lebar.
"Sebetulnya kamu tak perlu ke dokter kalau penyakit anakmu tak terlalu berat," sambungnya.
  Glek! Aku cuma bisa menelan ludah. Dijawab dengan data-data ilmiah seperti itu, kali ini aku pulang ke rumah dengan perasaan malu. Hmm…apa aku yang salah? Dimana salahnya? Ah sudahlah…barangkali si dokter benar, barangkali memang aku yang selama ini kurang belajar.
  Setelah aku bisa beradaptasi dengan kehidupan di negara Belanda, aku mulai berinteraksi dengan internet. Suatu saat aku menemukan artikel milik Prof. Iwan Darmansjah, seorang ahli obat-obatan dari Fakultas Kedokteran UI.

Bunyinya begini: "Batuk - pilek beserta demam yang terjadi sekali-kali dalam 6 - 12 bulan sebenarnya masih dinilai wajar.
Tetapi observasi menunjukkan bahwa kunjungan ke dokter bisa terjadi setiap 2 - 3 minggu selama bertahun-tahun."
Wah persis seperti yang dikatakan huisartku, batinku. Dan betul anak-anakku memang sering sekali sakit sewaktu di Indonesia dulu.

"Bila ini yang terjadi, maka ada dua kemungkinan kesalahkaprahan dalam penanganannya," Lanjut artikel itu. "Pertama, pengobatan yang diberikan selalu mengandung antibiotik. Padahal 95% serangan batuk pilek dengan atau tanpa demam disebabkan oleh virus, dan antibiotik tidak dapat membunuh virus.
Di lain pihak, antibiotik malah membunuh kuman baik dalam tubuh, yang berfungsi menjaga keseimbangan dan menghindarkan kuman jahat menyerang tubuh. Ia juga mengurangi imunitas si anak, sehingga daya tahannya menurun. Akibatnya anak jatuh sakit setiap 2 - 3 minggu dan perlu berobat lagi.
  Lingkaran setan ini: sakit –> antibiotik-> imunitas menurun -> sakit lagi, akan membuat si anak diganggu panas-batuk-pilek sepanjang tahun, selama bertahun-tahun."
  Hwaaaa! Rupanya ini lah yang selama ini terjadi pada anakku. Duuh…duuh..kemana saja aku selama ini sehingga tak menyadari kesalahan yang kubuat sendiri pada anak-anakku.
Eh..sebetulnya..bukan salahku dong. Aku kan sudah membawa mereka ke dokter spesialis anak. Sekali lagi, mereka itu dosenku lho! Masa sih aku tak percaya kepada mereka. Dan rupanya, setelah di Belanda 'dipaksa' tak lagi pernah mendapat antibiotik untuk penyakit khas anak-anak sehari-hari, sekarang kondisi anak-anakku jauh lebih baik. Disini, mereka jadi jarang sakit, hanya diawal-awal kedatangan saja mereka sakit.

Kemudian, aku membaca lagi artikel-artikel lain milik prof Iwan Darmansjah. Dan di suatu titik, aku tercenung mengingat kata-kata 'pengobatan rasional'. Lho…bukankah dulu aku juga pernah mendapatkan kuliah tentang apa itu pengobatan rasional.
Hey! Lalu kemana perginya ingatan itu? Jadi, apa yang selama ini kulakukan, tidak meneliti baik-baik obat yang kuberikan pada anak-anakku, sedikit-sedikit memberi obat penurun panas, sedikit-sedikit memberi antibiotik, baru sehari atau dua hari anak mengalami sakit ringan seperti, batuk, pilek, demam, mencret, aku sudah panik dan segera membawa anak ke dokter, serta sedikit-sedikit memberi vitamin. Rupanya adalah tindakan yang sama sekali tidak rasional! Hmm... kalau begitu, sistem kesehatan di Belanda adalah sebuah contoh sistem yang menerapkan betul apa itu pengobatan rasional.
  Belakangan aku pun baru mengetahui bahwa ibuprofen memang lebih efektif menurunkan demam pada anak, sehingga di banyak negara termasuk Amerika Serikat, ibuprofen dipakai secara luas untuk anak anak. Tetapi karena resiko efek sampingnya lebih besar, Belgia dan Belanda menetapkan kebijakan lain. Walaupun obat ibuprofen juga tersedia di apotek dan boleh digunakan untuk usia anak diatas 6 bulan, namun di kedua negara ini, parasetamol tetap dinyatakan sebagai obat pilihan pertama pada anak yang mengalami demam. "Duh, untung ya Yah aku nggak bilang ke huisart kita kalo aku ini di Indonesia adalah seorang dokter. Kalo iya malu-maluin banget nggak sih, ketauan begonya hehe," kataku pada suamiku.
  Jadi, bagaimana dengan para orang tua di Indonesia?

Aku tak ingin berbicara terlalu jauh soal mereka-mereka yang tinggal di desa atau orang-orang yang terpinggirkan, ceritanya bisa lain. Karena kekurangan dan ketidakmampuan, untuk kasus penyakit anak sehari-hari, orang-orang desa itu malah relatif 'terlindungi' dari paparan obat-obatan yang tak perlu.
Sementara kita yang tinggal di kota besar, yang cukup berduit, sudah melek sekolah, internet dan pengetahuan, malah kebanyakan selalu dokter-minded dan gampang dijadikan sasaran oleh perusahaan obat dan media. Batuk pilek sedikit ke dokter, demam sedikit ke dokter, mencret sedikit ke dokter. Kalau pergi ke dokter lalu tak diberi obat, biasanya kita malah ngomel-ngomel, 'memaksa' agar si dokter memberikan obat.
Iklan-iklan obat pun bertebaran di media, bahkan tak jarang dokter-dokter 'menjual' obat tertentu melalui media. Padahal mestinya dokter dilarang mengiklankan suatu produk obat. Dan bagaimana pula dengan teman-teman sejawatku dan dosen-dosenku yang kerap memberikan antibiotik dan obat-obatan yang tidak perlu pada pasien batuk, pilek, demam, mencret? Malah aku sendiri dulu pun melakukannya karena nyontek senior. Apakah manfaatnya lebih besar dibandingkan resikonya? Tentu saja tidak. Biaya pengobatan membengkak, anak malah gampang sakit dan terpapar obat yang tak perlu. Belum lagi bahaya besar jelas mengancam seluruh umat manusia: superbug, resitensi antibiotik! Tapi mengapa semua itu terjadi?

Duuh Tuhan, aku tahu sesungguhnya Engkau tak menyukai sesuatu yang sia-sia dan tak ada manfaatnya. Namun selama ini aku telah alpa. Sebagai orangtua, bahkan aku sendiri yang mengaku lulusan fakultas kedokteran ini, telah terlena dan tak menyadari semuanya. Aku tak akan eling kalau aku tidak menyaksikan sendiri dan tidak tinggal di negeri kompeni ini. Apalagi dengan masyarakat awam, para orangtua baru yang memiliki anak-anak kecil itu. Jadi bagaimana mengurai keruwetan ini seharusnya? Uh! Memikirkannya aku seperti terperosok ke lubang raksasa hitam. Aku tak tahu, sungguh!
  Tapi yang pasti kini aku sadar…telah terjadi kesalahan paradigma pada kebanyakan kita di Indonesia dalam menghadapi anak sakit. Disini aku sering pulang dari dokter tanpa membawa obat. Aku ke dokter biasanya 'hanya' untuk konsultasi, memastikan diagnosa penyakit anakku dan penanganan terbaiknya, serta meyakinkan diriku bahwa anakku baik-baik saja.
  Tapi di Indonesia, bukankah paradigma yang masih kerap dipegang adalah ke dokter = dapat obat? Sehingga tak jarang dokter malah tidak bisa bertindak rasional karena tuntutan pasien. Aku juga sadar sistem kesehatan di Indonesia memang masih ruwet. Kebijakan obat nasional belum berpihak pada rakyat. Perusahaan obat bebas beraksi‘ tanpa ada peraturan dan hukum yang tegas dari pemerintah. Dokter pun bebas meresepkan obat apa saja tanpa ngeri mendapat sangsi. Intinya, sistem kesehatan yang ada di Indonesia saat ini membuat dokter menjadi sulit untuk bersikap rasional.
  Lalu dimana ujung pangkal salahnya? Ah rasanya percuma mencari-cari ujung pangkal salahnya. Menunjuk siapa yang salah pun tak ada gunanya. Tapi kondisi tersebut jelas tak bisa dibiarkan. Siapa yang harus memulai perubahan? Pemerintah, dokter, petugas kesehatan, perusahaan obat, tentu semua harus berubah. Namun, dalam kondisi seperti ini, mengharapkan perubahan kebijakan pemerintah dalam waktu dekat sungguh seperti pungguk merindukan bulan. Yang pasti, sebagai pasien kita pun tak bisa tinggal diam. Siapa bilang pasien tak punya kekuatan untuk merubah sistem kesehatan? Setidaknya, bila pasien 'bergerak', masalah kesehatan di Indonesia, utamanya kejadian pemakaian obat yang tidak rasional dan kesalahan medis tentu bisa diturunkan.
  Dikutip dari buku "Smart Patient" karya dr. Agnes Tri Harjaningrum

ASI EKSKLUSIF BAYI CERDAS, IBU PUN SEHAT

Pemberian Air susu ibu atau ASI eksklusif makin leluasa dilakukan menyusul lahirnya PP NOMOR 33 TAHUN 2012. Peraturan Pemerintah yang disahkan bulan maret lalu, juga menegaskan ASI TETAPLAH SUSU TERBAIK bagi bayi dan menjadikan bayi bersangkutan kelak sebagai anak yang cerdas. Nilai lebih ASI Eksklusif yang diberikan sekitar 6 bulan, sekaligus membuat sang ibu SEHAT.
Dambaan para ibu agar pasca melahirkan dapat menyusui bayinya secara Eksklusif, terwujud sudah. kini telah terbit PP Nomor 33 tahun 2012 tentang pemberian ASI Eksklusif. apa itu ASI Eksklusif?
Dalam Bab I pasal 1 ayat 2 PP tersebut, pengertian ASI Eksklusif yakni ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, tanpa menambahkan dan atau mengganti dengan makanan atau minuman lain.
Pemberian ASI secara mutlak, penting dilakukan, mengingat manfaat yang akan diperoleh si bayi. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) hal ini untuk menghindari alergi dan menjamin kesehatan bayi secara optimal. Karena di usia ini, bayi belum memiliki ENZIM pencernaan sempurna untuk mencerna makanan atau minuman lain. Meski begitu, kebutuhan si buah hati akan zat gizi akan terpenuhi jika MENGKONSUMSI ASI.
Selain itu, ASI jauh lebih sempurna dibandingkan susu formula mana pun yang biasanya berbahan susu sapi. kandungan protein dan laktosa pada susu manusia dan susu sapi itu BERBEDA. Susu sapi kadar proteinnya lebih tinggi, yakin 3,4 persen sedangkan susu manusia hanya 0.9 persen. kadar laktosa susu manusia lebih tinggi yakni 7 persen sedangkan susu sapi hanya 3.8 persen.
Fungsi dari kedua zat gizi ini bertolak belakang. LAKTOSA sangat penting dalam proses pembentukan myelin otak. myelin atau pembungkus saraf ini bertugas mengatarkan rangsangan yang diterima si bayi. saat menyusui rangsangan yang diterima oleh si bayi seperti mencium bau ibunya serta mendengarkan dan merasakan napas sang bunda.
Sementara susu sapi, kandungan protein yang tinggi diperlukan untuk membantu pembentukan otot. Sapi memang butuh otot kuat untuk melakukan pekerjaan berat, seperti menarik gerobak.
Hasil penelitian dari oxford University dan Institute for Social dan Economic Research sebagaimana dilansir Daily Mail, menyebutkan bahwa anak bayi yang mendapat ASI Eksklusif akan tumbuh menjadi anak yang lebih pintar dalam membaca, menulis dan matematika. salah satu peneliti, Maria lacovou mengemukakan asam lemak rantai panjang (long chain fatty acids) yang terkandung di dalam ASI membuat otak bayi berkembang.
IBU SEHAT
Ibu pemberi ASI secara Eksklusif, ternyata juga mendapatkan manfaat lain yang sangat berguna bagi kesehatannya. Dengan menyusui, si ibu bisa lebih terlindungi dari ancaman kanker ovarium dan payudara. Hal ini disebabkan karena proses menyusui mempunyai efek pada keseimbangan hormon wanita.
Selain itu, pemberian ASI segera setelah melahirkan akan meningkatkan kontraksi rahim, yang berarti mengurangi resiko perdarahan setelah melahirkan. ini karena pada ibu yang menyusui terjadi peningkatan kadar oksitosin yang berguna untuk penutupan pembuluh darah sehingga perdarahan lebih cepat berhenti.
Disamping berdampak positif pada kesehatan, menyusui juga membantu ibu menurunkan berat badan usai melahirkan. karena ketika menyusui setiap 500 kalori terbakar setiap harinya. HIngga, sangat memungkinkan si ibu memulihkan postur tubuhnya seperti sebelum melahirkan.
Bagi yang berencana ikut KB namun belum menemukan alat kontrasepsi yang pas, aktifitas menyusui secara eksklusif juga dapat menunda haid dan kehamilan, sehingga dapat digunakan sebagai alat kontrasepsi alamiah. Secara umum metode ini dikenal sebagai METODE AMENOREA LAKTASI (MAL).
BERBAGAI DUKUNGAN
Menyadari begitu banyaknya manfaat diperoleh dari pemberian ASI Eksklusif. maka pemerintah sangat mendukung gerakan ini. tak tanggung-tanggung, bentuk dukungan tersebut dituangkan dalam Peraturan Pemerintah bernomor 33 tahun 2012 tentang pemberian Air Susu Ibu Eksklusif.
Secara umum PP yang disahkan Maret lalu itu, menggambarkan secara jelas keberpihakan pemerintah terhadap gerakan pemenuhan ASI Eksklusif. dalam tujuannya disebutkan bahwa hal ini untuk menjamin HAK bayi dam memberikan perlindungan pada ibunya. sekaligus juga mengajak banyak PIHAK untuk mendukungnya seperti keluarga, masyarakat, termasuk Pemerintah Daerah dan Pemerintah.
Tuntutan peran serta berbagai pihak sebagaimana disebut di atas, dapat dipahami. karena, seringkali kegagalan pemberian ASI Eksklusif justru datang dari pihak keluarg. Misalnya, karena adanya kekuatiran si bayi masih KELAPARAN jika hanya di beri ASI.
Disamping keluarga, tempat kerja sangat mungkin jugamenjadi pengganggu kelancaran proses pemberian air susu tersebut. Di antaranya disebabkan oleh ketidaktersediaan tempat untuk memerah air susu atau terbatasi oleh waktu kerja.
Mengantasipasi faktor-faktor penghalang ini, maka diharapkan ada kesepakatan antara karyawan dengan pemilik perusahaan atau pengusaha. Pengurus tempat kerja DIWAJIBKAN memberi kesempatan kepada ibu yang bekerja untuk memberikan ASI Eksklusif selama waktu kerja ditempat kerja.
bahkan tampat atau sarana umum pun DIHIMBAU untuk menyediakan fasilitas bagi ibu yang sedang menyusui.
PERAN BIDAN
BIDAN sangat populer dikalangan ibu-ibu kita. tak sedikit wanita melahirkan dirumah sakit bersalin dengan mengandalkan Bidan untuk membantu proses kelahiran. Bahkan di kalangan masyarakat menengah ke bawah, bidan lebih dikenal ibu-ibu hamil dibandingkan dokter kandungan. Maka , peran bidan cukup sentral dalam mensosialisasikan pemberian ASI Eksklusif ini.
Sebagai bagian dari tenaga kesehatan, bidan juga dokter diwajibkan memberikan pemahaman tentang pemberian ASI Eksklusif tersebut. Kalangan ini di minta melaksanakan program Inisiasi Menyusui Dini (IMD).
Pemerintah lewat PP nomor 33 menginginkan kesadaran dan kesediaan memberikan ASI Eksklusif mewabah di kalangan ibu-ibu. dan pundak tenaga kesehatan juga penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan menjadi tumpuan penting untuk memasyarakatkannya. Bila mereka ini abai, maka akan dikenai sanksi secara bertahap. dari tertulis hingga pencabutan izin.
sumber TABLOID NOVA EDISI 1270/XXV hal.27 penulis KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA.